Melalui tulisan ini, sengaja aku mengucapkan selamat jalan kepada
tanteku yang meninggal Jumat sore sekitar pukul 5. Tanteku, Lailah, termasuk orang
yang sukses dalam indeks prestasi penderitaan. Ia sudah menyaingi popularitas
keponakannya dengan mejeng di koran-koran. Dan ia begitu bangga meski mesti dikenal
sebagai orang yang paling menderita. Sudah enam tahun ia berbaring di ranjang
reot kamarnya. Kursi roda tidak pernah ia pakai tur keliling kamar. Hanya berbaring. Lumpuh. Kaki-kakinya tidak berbeda dengan batang
pohon yang rubuh.
Salah satu pesan Tante yang kuingat: "Kehidupan kota itu berbahaya. Berhati-hatilah saat naik angkot atau bus atau kendaraan apa saja. Jangan mau jika ditawari minum! Tahu tidak, itu racun." Aku selalu tertawa mendengar pesan-pesan Tante. Aku pun malu belum pernah memberikan apa-apa terhadapnya, bahkan pasangan. Aku sering mengomel saat ia menanyakan, "Mana pacarmu?" Dulu memang pernah kujanjikan ia akan jadi saksi pernikahan kami berdua. Entah kapan. Padahal ia tahu aku belum juga bertemu pangeran sampai sekarang. Aku cukup bahagia melihat pangeran Tante. Ia seorang Ketua RT (kini naik pangkat jadi Ketua RW) yang bersedia tidur di sampingnya.
Saat tidak ada siapa-siapa di rumah, pernah suatu waktu Tante tidak tahan dan galau. Ia memanggil Pipit, adik asuhku di kampung, untuk membelikannya satu plastik minyak tanah. Tahu-tahu seisi kampung heboh oleh tragedi (nyaris) bunuh diri. Nekat benar. Ada asap mengepul dari rumah tanteku. Kasur tanteku habis terbakar. Beruntung bapakku yang mendengar bunyi bel (yang biasa digunakan Tante untuk memanggil jika ada perlu) berdenging begitu kencang. Bel itu rusak dikunyah api. Dengan gesit, Bapak membopong Tante ke tempat lain. Konsekuensinya pinggul yang bersigesek itu hampir-hampir copot.
Aku mengerti ada kesakitan yang dalam saat jantung menolak untuk berhenti berdetak sementara mulut orang-orang terdekat sudah mengeluh tentang besarnya biaya perawatan dan lain sebagainya. Aku mengerti ada kesakitan yang dalam saat mulut tidak bisa menelan belasan pil obat dari resep dokter, sementara orang-orang yang sudah bosan berdoa kini menuntutnya untuk sembuh lekas-lekas. Terlebih Nenek yang saat itu kulihat begitu kerepotan seperti mengurus bayi.
Aku sendiri tidak pernah memberikan apa-apa kecuali penghiburan klasik semacam kisah tentang Nabi Ayyub a.s. Aku bercerita dengan isak tangis yang gagal kusembunyikan. Ah, hiburan yang menyedihkan. Seumur hidup, aku juga tidak pernah mendapat honor mewah selepas bercerita selain dari tanteku: sebungkus cokelat dan beberapa lembar ongkos Cianjur-Bandung. Itu sisa jualan kursi roda dan biaya rumah sakit, katanya. Selamat jalan, Tante! Barangkali kau akan benar-benar berjalan setelah ini. Maaf, belum sempat memperlihatkan padamu puisi yang kutulis ini.
Tanteku ditinggalkan Kursi Roda: LailahKursi roda tanteku tidak pernah dipakaidibiarkan ia berselimut debudi kamar yang serba abu-abuKursi roda itu tidak pernah mengobatirasa ngilu tulang-tulang igarasa rindu terhadap kelanaJam dinding seakan lumpuh dan bekudan tanteku ingin terus menggeser kepalanyapada lembar kalender yang minta dibukaTangan-tangannya hanya sanggup menggapaibel dan tongkat kayu penggaruk gataldan kain perca yang menyumpal pantatSeperti mahoni yang ditumbangkanberibu kenangan, kering dan lapuktanteku menunggu akar tubuhnya dicerabutNamun orang-orang itu tetap menyangkakaki-kaki tanteku akrab dengan roda-roda besidan berdoa supaya ia lekas sembuhSepertinya kami harus mengatur kembalijadwal besuk ustad, polisi, dan wartawansebab rumah tanteku bukan istana anggota dewanUntuk menampung orang-orang yang ibakami perlu meminjam halaman tetanggaserta gelas-gelas warung dan kopi sebagai jamuanDi kamar tanteku yang serba abu-abudan bau, di antara rongsokan barang-barang usangkursi roda tampil paling menyilaukanKemudian ia mengantar potret dirinyapada tagihan rumah sakit dan headline surat kabar“Jual Kursi Roda Demi Sambung Hidup”Kursi roda telah pergi menjual dirisebab ia merasa sungguh tidak pantashidup bersama tubuh yang tabahDi kamar tanteku yang serba abu-abudan bau, ada sejumlah cucian bajudan pajangan surat kabar menyedihkan itu2015
Setelah ditinggalkan kursi roda, Tante balas dendam dengan
pergi meninggalkan kami semua. Sial. Balas dendam yang mengejutkan. Jujur saja, aku pun terkejut, tidak percaya. Tapi aku tidak tahu mesti dengan apa aku balas dendam, mungkin dengan doa, dengan kata-kata yang terus kusambung seakan menyambung tulang-tulangnya.
Kepada Tante aku ingin berteriak, "Pergilah, Tante! Berdiri dan berlarilah! Di surga, kau akan awet muda dan tidak perlu kursi roda. Semoga saja."
0 comments:
Post a Comment
Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!