Kart's

Daily Notes

Selamat Jalan Tante!

Leave a Comment

Melalui tulisan ini, sengaja aku mengucapkan selamat jalan kepada tanteku yang meninggal Jumat sore sekitar pukul 5. Tanteku, Lailah, termasuk orang yang sukses dalam indeks prestasi penderitaan. Ia sudah menyaingi popularitas keponakannya dengan mejeng di koran-koran. Dan ia begitu bangga meski mesti dikenal sebagai orang yang paling menderita. Sudah enam tahun ia berbaring di ranjang reot kamarnya. Kursi roda tidak pernah ia pakai tur keliling kamar. Hanya berbaring. Lumpuh. Kaki-kakinya tidak berbeda dengan batang pohon yang rubuh.

Seminggu yang lalu, ketika terakhir kali aku pulang kampung, tenteku berada di ranjang tetangga, dipindahkan ke sana. Aku mendapati rumah tanteku sedang direnovasi oleh beberapa tukang. Itu pun berkat uluran tangan masyarakat sekitar dan kepolisian setempat. Adalah penyesalan kami semua ketika rumah tersebut belum pernah ditempati tanteku. Aku sedih bukan main menyadari tentang satu hal, bahwa tukang-tukang atau kuli bangunan itu tidak mungkin bisa merenovasi tulang-tulang kaki tanteku. 

Salah satu pesan Tante yang kuingat: "Kehidupan kota itu berbahaya. Berhati-hatilah saat naik angkot atau bus atau kendaraan apa saja. Jangan mau jika ditawari minum! Tahu tidak, itu racun." Aku selalu tertawa mendengar pesan-pesan Tante. Aku pun malu belum pernah memberikan apa-apa terhadapnya, bahkan pasangan. Aku sering mengomel saat ia menanyakan, "Mana pacarmu?" Dulu memang pernah kujanjikan ia akan jadi saksi pernikahan kami berdua. Entah kapan. Padahal ia tahu aku belum juga bertemu pangeran sampai sekarang. Aku cukup bahagia melihat pangeran Tante. Ia seorang Ketua RT (kini naik pangkat jadi Ketua RW) yang bersedia tidur di sampingnya.

Saat tidak ada siapa-siapa di rumah, pernah suatu waktu Tante tidak tahan dan galau. Ia memanggil Pipit, adik asuhku di kampung, untuk membelikannya satu plastik minyak tanah. Tahu-tahu seisi kampung heboh oleh tragedi (nyaris) bunuh diri. Nekat benar. Ada asap mengepul dari rumah tanteku. Kasur tanteku habis terbakar. Beruntung bapakku yang mendengar bunyi bel (yang biasa digunakan Tante untuk memanggil jika ada perlu) berdenging begitu kencang. Bel itu rusak dikunyah api. Dengan gesit, Bapak membopong Tante ke tempat lain. Konsekuensinya pinggul yang bersigesek itu hampir-hampir copot.

Aku mengerti ada kesakitan yang dalam saat jantung menolak untuk berhenti berdetak sementara mulut orang-orang terdekat sudah mengeluh tentang besarnya biaya perawatan dan lain sebagainya. Aku mengerti ada kesakitan yang dalam saat mulut tidak bisa menelan belasan pil obat dari resep dokter, sementara orang-orang yang sudah bosan berdoa kini menuntutnya untuk sembuh lekas-lekas. Terlebih Nenek yang saat itu kulihat begitu kerepotan seperti mengurus bayi.

Aku sendiri tidak pernah memberikan apa-apa kecuali penghiburan klasik semacam kisah tentang Nabi Ayyub a.s. Aku bercerita dengan isak tangis yang gagal kusembunyikan. Ah, hiburan yang menyedihkan. Seumur hidup, aku juga tidak pernah mendapat honor mewah selepas bercerita selain dari tanteku: sebungkus cokelat dan beberapa lembar ongkos Cianjur-Bandung. Itu sisa jualan kursi roda dan biaya rumah sakit, katanya. Selamat jalan, Tante! Barangkali kau akan benar-benar berjalan setelah ini. Maaf, belum sempat memperlihatkan padamu puisi yang kutulis ini.



Tanteku ditinggalkan Kursi Roda
: Lailah

Kursi roda tanteku tidak pernah dipakai
dibiarkan ia berselimut debu
di kamar yang serba abu-abu
Kursi roda itu tidak pernah mengobati
rasa ngilu tulang-tulang iga
rasa rindu terhadap kelana

Jam dinding seakan lumpuh dan beku
dan tanteku ingin terus menggeser kepalanya
pada lembar kalender yang minta dibuka
Tangan-tangannya hanya sanggup menggapai
bel dan tongkat kayu penggaruk gatal
dan kain perca yang menyumpal pantat

Seperti mahoni yang ditumbangkan
beribu kenangan, kering dan lapuk
tanteku menunggu akar tubuhnya dicerabut
Namun orang-orang itu tetap menyangka
kaki-kaki tanteku akrab dengan roda-roda besi
dan berdoa supaya ia lekas sembuh

Sepertinya kami harus mengatur kembali
jadwal besuk ustad, polisi, dan wartawan
sebab rumah tanteku bukan istana anggota dewan
Untuk menampung orang-orang yang iba
kami perlu meminjam halaman tetangga
serta gelas-gelas warung dan kopi sebagai jamuan

Di kamar tanteku yang serba abu-abu
dan bau, di antara rongsokan barang-barang usang
kursi roda tampil paling menyilaukan
Kemudian ia mengantar potret dirinya
pada tagihan rumah sakit dan headline surat kabar
“Jual Kursi Roda Demi Sambung Hidup”

Kursi roda telah pergi menjual diri
sebab ia merasa sungguh tidak pantas
hidup bersama tubuh yang tabah
Di kamar tanteku yang serba abu-abu
dan bau, ada sejumlah cucian baju
dan pajangan surat kabar menyedihkan itu

2015

Setelah ditinggalkan kursi roda, Tante balas dendam dengan pergi meninggalkan kami semua. Sial. Balas dendam yang mengejutkan. Jujur saja, aku pun terkejut, tidak percaya. Tapi aku tidak tahu mesti dengan apa aku balas dendam, mungkin dengan doa, dengan kata-kata yang terus kusambung seakan menyambung tulang-tulangnya.

Kepada Tante aku ingin berteriak, "Pergilah, Tante! Berdiri dan berlarilah! Di surga, kau akan awet muda dan tidak perlu kursi roda. Semoga saja."
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!