Kart's

Daily Notes

Kompetisi dalam Toples, Kolaborasi di Atas Etalase

Leave a Comment
Cianjur, kampung halaman saya, mengasuh anak-anak bangsa yang merupakan aset tidak ternilai harganya. Saya mendengar beberapa juara Olimpiade Sains Nasional (OSN) berasal dari Cianjur. Juara Cipta dan Baca Puisi Festival Lomba Seni dan Sastra Nasional (FLS2N) juga berasal dari Cianjur. Belum lagi ajang-ajang bergengsi lain yang akan menambah daftar panjang deretan prestasi Cianjur. Masyarakat Cianjur jarang sekali kalah saing di ajang bakat dan pertarungan, terutama di bidang seni dan sains. Taruhlah beberapa kontes di televisi seperti KDI, Mamamia, Indonesian Idol, dan Dangdut Academy. Siapa yang pada akhirnya dinobatkan jadi nomor satu atau paling tidak finalis? Saya sendiri sampai geleng-geleng kepala. Cianjur, kota kecil yang mungkin dipandang sebelah mata, rupanya punya mental juara. Itu keren. Asal jangan jadi juara korupsi.

Saya ambil sampel sebuah lembaga: Dewan Kesenian Cianjur (DKC), rahim yang melahirkan para pelaku seni dan sastra. Untung saat itu gedungnya tidak jadi digusur. Saya tidak tahu apakah jadinya Cianjur tanpa Dewan Kesenian. Saya juga tidak tahu apakah sains punya semacam rahim juga di kota kecil ini. Dulu saya aktif di DKC tepatnya di ruang Komunitas Sastra Cianjur. Berkat undangan Yusuf Gigan, seorang budayawan berpengaruh di Cianjur, saya kelayapan saban pulang sekolah ke sana untuk sekadar menonton teater. Saya mulanya diajak untuk menuntaskan tulisan demi tulisan. Dan dari sinilah saya tahu kalau sastra itu bukan merk permen karet. Tanpa sengaja saya juga berkenalan dengan para pembaca puisi yang digembleng hampir setiap hari selama satu sampai tiga bulan sebelum berkompetisi lalu menang (tentu saja).

Sejak duduk di bangku SMA (dan kadang-kadang berdiri) saya menjauhkan diri dengan monster cantik bernama kompetisi. Dari SD hingga SMP mungkin saya terkenal sebagai orang jenius. Tapi SMA saya terkenal sebagai orang goblok (ini sih takdir). Peduli setan dengan nilai dan pandangan semua orang. Saya justru merasa tentram berada di posisi orang goblok ini. Saya tidak perlu repot kejar-kejaran ranking. Saya juga tidak perlu jadi penjilat (konon guru di SMA saya tidak suka dijilat-jilati). Rekor saya alangkah mengesankan. Lima kali remedial Fisika. Ratusan kali tidur di kelas. Jadi peraih nilai UN terendah satu sekolah. Ditambah beberapa kasus pembangkangan. Itu parah. Saya lupa saya sedang menulis esai untuk Koran Budaya. Maaf, jangan tiru adegan-adegan berbahaya di paragraf ini. Atau kalau mau, redakturnya bisa sensor.

Terlepas dari kehidupan sekolah, rasa minder akut pun mulai menerjang seperti pada remaja labil umumnya. Saya berencana untuk tidak kuliah dan menulis saja walaupun pada akhirnya kertas-kertas yang berisi tulisan saya akan jadi bungkus gorengan. Tapi Tuhan punya skenario lain. Dia memang bajingan. Saya kini menemukan diri saya sudah jadi mahasiswa Desain Grafis, selangkah menuju gerbang yang tidak pernah saya impikan. Makanya saya masih agak malu untuk unjuk diri. Kalau bisa saya ingin menutup kepala pakai panci setiap berangkat ke kampus. Saya menghina diri terus menerus. Teman saya menyarankan untuk menabung seribu rupiah setiap kali hinaan. Kalau dihitung, sampai sekarang uang tabungan saya sudah bisa beli Ferrari jangan-jangan. Untuk menutupi lubang rasa minder kadang-kadang saya menimbun lagak sombong. Jadilah saya menemukan jalanan rata: percaya diri.

Sebab dengan menjadi mahasiswa di era globalisasi penuh persaingan, sudah seharusnya saya punya goal. Dan capaian akan benar-benar mengglobal kalau kita percaya diri (bukan menyembah diri sendiri). Saya percaya semua orang punya jiwa kompetisi. Tapi kompetisi yang seperti apa? Persaingan yang bagaimana? Di mana?

1. Kompetisi Personal


Kompetisi memang baik untuk mengukur sejauh mana diri kita kompeten. Saya punya beberapa piala yang terbuat dari kuningan. Itu pun mungkin karena jurinya kasihan. Saya lebih baik dihadiahi durian lima biji. Konkrit untuk mengisi perut yang lapar. Saya pernah menahan lapar selama beberapa hari dan malu rasanya untuk minta uang pada orang tua dan pinjam uang pada teman-teman (saya juga tidak mau makan uang).

Jujur, selalu saya risih dengan adu mulut atau silat lidah atau semacamnya. Barangkali saya tidak punya kompetensi di bidang politik. Saya cenderung menjauhi debat dan perkara. Tetapi saya tidak bisa lepas dari atmosfir balap lari intelektualitas. Saya seolah-olah menjadi arena balapnya. Semua orang berlomba-lomba mencapai tingkat intelek tertinggi dan saya hanya mampu beringsut, tenggelam, lalu ‘mati’ di antara tumpukan buku-buku.

Di kampus, saya melihat para aku (mahasiswa yang ingin diakui) berdatangan dengan jaket kebanggaan dan rebutan mik di tengah-tengah gelombang massa dan pada akhirnya hanya satu yang bicara. Si sekrup kecil itu bangga menjadi kepala. Padahal kepala tidak akan ada tanpa tubuh. Ya, seorang manusia hanyalah sekrup kecil di dalam mesin raksasa. Buat apa bangga jadi orang kaya satu-satunya? Banggalah jadi sebatang kara tapi bersama-sama.

2. Kompetisi Komunal

Saya melihat para guru haus medali yang menjadikan anak didiknya barang cetakan. Keranjang otak dan gerak stang anak didiknya pun sepabrik. Bagus. Tapi mereka tidak dibiarkan berkreasi sesuai kemampuan. Ada kekhawatiran bagaimana semua anak didik di muka bumi jadi alat pemuas kebutuhan sekolah. Terdikte dengan kompetisi, terbiasa melumpuhkan teman-temannya demi wajah cerah bernama prestasi. Tidak bisakah guru hanya menyuplai bensin? Biarkan anak-anak pergi ke arah mana mereka suka.

Sekolah dan kampus sebagai lembaga pendidikan harus lebih berhati-hati dengan penyusupan kata kompetisi yang kadang-kadang membawa kuman. Arogansi kelas-kelas, ekstrakulikuler-ekstrakulikuler, himpunan-himpunan dan unit-unit memang dibutuhkan. Bukan untuk penghiburan belaka namun mendorong semangat persaingan yang lebih tinggi dibanding kompetisi personal.


Paling tidak mereka merasakan apa yang dinamakan kompetisi out castle. Tentu saja mereka harus menekan ego personal untuk bekerja sama dengan person yang lain demi terciptanya kerajaan yang lebih baik. Bagai menonton sirkus kompetisi dalam toples, saya teringat akan pepatah lama, “Jangan jadi raja di istana sendiri. Keluar dan jadilah prajurit!”


Baiklah, tentang kompetisi, saya cukupkan dulu. Sebab saya melihat ada kata yang lebih agung lagi untuk dimaknai: Ko-la-bo-ra-si. Analoginya bila kita berjalan-jalan di supermarket atau mampir ke sebuah toko, tidakkah kita melihat produk dari sebuah packaging/kemasan? Kita tidak mungkin membeli sebuah permen tanpa bungkus? Dan kita juga jarang sekali mengeluarkan uang hanya untuk permen satu buah kecuali jika nihil uang kembalian. Kita selalu membeli satu paket/saset yang kita percaya (dari kemasannya) itu enak, bukan?

Begitu pun dengan organisasi, lembaga, komunitas, sekolah, universitas, bahkan negara, yang sedang membungkus kita. Apa yang sudah kita sumbangkan untuk memperindah bungkus itu, untuk membuat tangan-tangan perusahaan mengambil kita (bukan untuk dimakan)? Itu jika kita butuh pekerjaan. Jika tidak, apa yang sudah kita sumbangkan untuk membuat orang lain percaya bahwa kita adalah bagian dari bungkus yang indah sehingga dia turut serta menginvestasikan tenaga dan pikirannya demi sebuah perubahan?

Ini bukan lagi zaman kompetisi. Ini zaman kolaborasi, Kawan. Seperti kata Mattie Stepanek, “Persatuan adalah kekuatan. Bila ada kerja sama tim dan kolaborasi, hal indah dapat dicapai.” Penyair asal Amerika tersebut bahkan mengisyaratkan bahwa berkegiatan sastra juga tidak bisa sendirian. Harus ada pergaulan demi terciptanya benteng kokoh bernama kebijakan/etika. Kalau tidak, kau mungkin akan arogan dengan menyebut diri sendiri sebagai 33 Tokoh Sastra Berpengaruh atau membual bahwa dalam kurun waktu 100 tahun tidak ada sastrawan Indonesia yang mampu mencuri perhatian dunia. Duh, kau pasti bercanda!

Setiap orang punya dua sisi mata uang: kelemahan dan kekuatan. Lantas, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Apa yang harus kita asah? Kelemahan atau kekuatankah?” Alvanov Zpalanzani mengatakan, “Kelemahan dan kekuatan kita ibarat punggung dan mata kapak, mana yang lebih cepat tajam bila diasah? Tentu saja mata kapak, bukan? Sia-sia kita mengasah punggungnya, tidak akan pernah tajam, paling-paling berkurang ketebalannya.” Dosen saya benar. Kita sudah diberikan potensi masing-masing. Kita tidak bisa memaksakan diri mengasah kelemahan. Kalau toh kita butuh bidang itu, kan ada teman kita yang memang punya potensi di situ. Itulah yang dinamakan kolaborasi tim.

Teman saya lalu bersikukuh ingin menguasai semua ilmu sekaligus. Saya lantas bertanya, “Anda ingin jadi spesialis atau multitalenta?” Dia menjawab yang kedua. Memang seseorang seperti itu bisa saja sampai ke istana Ratu Lebah jika di perjalanan asyik berputar-putar di sepuluh cabang jalan. Dan bagi figur multitalenta memang ada keistimewaan tersendiri. Ialah menjadi pemimpin, yang tahu bagaimana detil setiap jalan raya, setiap permukaan. Tapi belum tentu di setiap gang beserta lika-likunya. “Bagus, Anda bisa jadi pemimpin,” kubilang, "Pimpin saya!" Dan dia berkaca-kaca.

Sehabis bertahun-tahun kita merasakan gegap gempita kompetisi, tidakkah ada keinginan untuk berkolaborasi dengan sesama dan mengabdi demi apa pun itu (asalkan sudah bukan lagi demi diri sendiri)? Panggil para juara itu dan hadapkan padaku!


Jika kita sudah selesai berkompetisi dengan membawa nama sendiri, mari berkolaborasi untuk menciptakan inovasi di kota kita tercinta. Jika kita sudah selesai berinovasi, mari berkolaborasi dengan warga lain pulau untuk menciptakan sebuah keharmonisan negeri. Jika kita sudah selesai dengan keharmonisan negeri, mari berkolaborasi dengan warga asing di belahan dunia sana demi terciptanya bumi makmur sejahtera. Jika di antara kita sudah tercipta bumi makmur sejahtera, insyaallah itulah kendaraan kita untuk sampai ke sorga. Sebab bersama akan kita terima undangan Yang Maha Kuasa. Dia pasti membeli kita dengan seperangkat Cinta setelah melihat betapa cantik barisan ini di atas etalase bumi.
Bandung, 2015

 
gambar diambil dari photolabels.co
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!