Kart's

Daily Notes

Paciwit-ciwit Lutung dan Birokrasi Keparat

1 comment
Penyair adalah juga pendendam. Begitulah yang kupikir setelah menemukan banyak penyair yang besar justru karena memupuk dendam. Dendam yang cantik, tentu saja. Dendam yang dilampiaskan menjadi karya brilian. Aku mencoba memupuk dendam itu siapa tahu jadi tanaman kangen. Sudah bertahun hidup di kampus raksasa ini, bertahun pula aku tergopoh-gopoh seperti keledai. Antara marah dan putus asa aku menghadapi tektek bengek administrasi yang mencubitku terus menerus. Dari mulai pendaftaran hingga pengisian rencana studi kemarin. Tapi tidak ada yang bisa dipersalahkan memang karena begitulah sistem pendidikan kita. Bahkan tidak bisa kita mempersalahkan diri sendiri yang hidup di abad ini, di zaman supercanggih ini. Kalau pun hidup di zaman batu, siapa tahu kita bukannya bebas malah sengsara dan gila sampai jiplak-jiplak telapak tangan di gua. Kau mau? Aku sih tidak.

Lingkar Sastra, kukira, pernah hidup di zaman batu. Bertahun yang lalu, kita pernah setiap malam mengadakan pertemuan di Selasar Labtek 7 yang dindingnya penuh batu-batu. Gelap dan dingin. Kau tahu, manusia prasejarah akan berpikir seribu kali untuk bertahan di sini. Percayalah kami lebih kuat dari manusia prasejarah. Makanya kami punya tekad buat berkarya di dinding gua. Kami yang tidak tahu menahu soal sejarah berdirinya lingkaran di gua ini, tahu-tahu mendapat kesempatan buat mengadakan semacam ritual persembahan acara pagelaran. Ini menyakitkan sekaligus menantang. Kaderisasi kami berjalan seperti rutinitas tahunan yang begitu-begitu saja. Baca puisi di depan umum. Kami menyebutnya 'Tugas Besar'. Pernah juga sih mengadakan Gerakan Indonesia Membaca Sastra tapi hanya sayup-sayup saja kedengarannya seperti bisikan jin di rumah hantu. Baiklah, ini akan jadi batu meloncat, eh batu loncatan. Dan harus ada yang rela jadi 'kambing disembelih' alias korban.


Akan sangat panjang ceritaku soal berdarah-darah dan berputar-putar dalam perjalanan birokrasi ini. Pahit empedu yang terasa mulai tentang permohonan surat izin tempat, listrik, masuk mobil, alat pemadam kebakaran, stand pembelian tiket, publikasi, properti, umbul-umbul, bahkan hal remeh seperti pemasangan petunjuk arah (contoh: gambar tanda panah yang diinjak-injak). Tidak ada seinci pun fasilitas di kampus kami yang sukses dipakai tanpa seizin Sarpras atau K3L. Aku bahkan sempat banjir air mata di depan petugas Lembaga Kemahasiswaan. Aku dicap 'membodohi' hanya karena minta stempel pengesahan atas kekeliruan surat. Aku tidak bisa bilang 'keparat' karena aku tahu petugas-petugas itu telah bekerja dengan baik. Aku bersyukur atas kejadian ini aku jadi melek sistem dan agak disiplin dan aku menemukan banyak keluarga baru di kampus. Bapak-bapak dan ibu-ibu entah satpam entah pengurus sampah sering menyapa saat aku kebetulan lewat bersepeda atau saat makan di kantin.

Meskipun aku kena 'hajar' dosen tak dikenal di gerbang karena berangkat ke kampus beralaskan sandal dan aku disuruh pulang saat itu juga, aku mencari jalan pintas untuk sampai ke gedung kuliah. Ialah lewat parkiran penuh rumput brewokan--tidak tercukur, sehingga kakiku nyaris tidak terlihat. Berkat kejadian itu, aku jadi mengerti siasat. Berangsur pulih rasa sakit hatiku tapi ternyata kita tidak pernah bisa lepas dari aturan-aturan yang memuakkan seperti itu. Saat KTM-ku hilang dan aku sangat-sangat membutuhkannya untuk keperluan mendesak, aku dipaksa untuk berdarah-darah lagi, berputar-putar lagi, dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. Jantungku jungkir balik rasanya! Melihat gerak petugas yang malas-malasan memberitahu daftar persyaratan, aku membentaknya sekaligus beringsut. Aku mengerti ada banyak sekali mahasiswa mengajukan permintaan yang sama seharian tadi. Melelahkan sekali jadi petugas administrasi.

Kata W.S. Rendra, "birokrasi menjadi berlebihan, menjadi benalu di dahan." Lantas, siapa yang sudi memotong urat kemaluan birokrasi ini? Orang-orang purbakala mungkin akan mengasah kapak. Sebagaimana Rendra, aku cukup mengasah kata-kata. Beruntung aku kedapatan kursi di mata kuliah Apresiasi Sastra. Di situ aku bertemu Bapak Jejen Jaelani, penyair, dosen dan alumni pesantren, yang sangat enerjik, membuat siapa saja tidak canggung menjadikan sastra sebagai heroin dalam hidupnya. Aku merasa bersemangat lagi untuk merangsang kreativitas lewat apa saja. Misalnya lewat mantra permainan tradisional yang nyaris kulupakan. Lewat paciwit-ciwit lutung, cang ucang angge, sampai baok babah kahuruan misalnya. Ini juga akan kujadikan bahan buat Tugas Akhir: Tipografi Mantra Kaulinan Sunda. Salamku untukmu, nenek moyangku!




Salimah Jadi Birokrat
 

Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka tungtung
Jadi birokrat jadi aparat (hei!) tidak boleh khianat
Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka luhur
Jadi aparat jadi pejabat (oh!) jangan pernah melarat
 

Duh aduh pusing!

Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka tungtung
si lutung pindah ka luhur, si lutung pindah ka tungtung
si lutung pindah pindah pindah pindah pindah


Salimah menggusur rumah ibu kandungnya
yang tak punya sertifikat tanah
Di bantaran sungai Ciliwung, bercerita ia
pada awak media, ”Betul, saya setujui relokasi ini
biar kampung halaman juga kenangan
tidak lebih dulu digusur banjir.”
Salimah terbelit argumentasinya sendiri
Orang-orang terjepit kaki buldozer dan hak milik

Birokrasi adalah jalan panjang perjuangan

menuju integritas serta kontrol revolusi
memangkas praktik kecurangan, korupsi, kriminal
dengan tata hukum, surat izin, undang-undang seribu pasal
dan standar operasional

Sementara birokrat hanya butuh tempat duduk
di balik meja, secangkir kesabaran dan bolpoin ajaib
menghadapi seribu satu pertanyaan kembar setiap jam
membubuhkan ciuman cap basah pada

kertas kertas kertas kertas kertas.
Nomor antrian sembilan puluh sembilan

silakan menuju loket dua belas
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf, tidak tahu.”
Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka tungtung
Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka luhur

"Boleh tanda tangan di sini di sini di sini di sini.”
 

Duh aduh pusing!
 

Di ruang rapat, Salimah mengajarkan
cucunya yang cantik dan baru masuk Sekolah Dasar
“Jadi birokrat, Sayang, adalah cita-cita mulia
dan menjanjikan ketimbang doktor, guru, insinyur,
hajah dan ustadzah. Birokrat tidak pernah terjerat hutang.
Apalagi kalau kawin dengan mafia pajak.”
“Aku mau jadi birokrat, Mak Imah.”

Salimah tengok gubuk kecil itu

Ada anak yang tidak bisa berangkat sekolah
karena tak punya akta kelahiran
Ada mantan narapidana yang enggan bekerja
karena tak mungkin bikin surat keterangan kelakuan baik
Ada bunda yang melahirkan saja susah
karena lupa nama dan usia, ditambah biaya bengkak persalinan
Menangis Salimah tapi tak bisa berbuat banyak

selain rebah dan istirah

Bertanya Salimah pada cucunya yang kini sudah
jadi birokrat, “Mana tunjangan pensiun Mak?
Akan Mak pakai dua setengah persen
buat membangun sekolah, kantin, dan rumah sakit.”

“Belum cair, belum cair, belum cair, belum cair.”
“Memangnya es batu!”
He! Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka tungtung
Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka luhur


Mantap, Salimah ingin terbang ke mekah
thawaf dan melempar jumrah
Sudah disiapkannya visa, paspor, kartu keluarga
buku tabungan, hasil ronsen, fotokopi KTP
catatan nomor rekening
bolak-balik dari ATM ke bank ke klinik
ke kantor polisi ke gedung keberangkatan haji

(Terbang terbang terbang terbang terbang)
Salimah jatuh dari pesawat
Wajahnya hilang bentuk, hangus terbakar
seperti juga pas foto tiga kali empat
dua rangkap yang dibawanya
Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka tungtung
Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka luhur
 


Di akhirat, Salimah menyogok malaikat
dengan kartu kredit, segepok cicilan apartmen
dan beasiswa ke luar negeri
Disiksa, Salimah anteng-anteng saja
Toh ia punya asuransi jiwa
Lagipula ia tinggal mengajukan proposal
masuk surga, ia masih punya banyak pulsa
untuk menelepon Tuhan

“Halo, halo.”

Paciwit-ciwit lutung, si lutung pindah ka tungtung
si lutung pindah ka luhur, si lutung pindah ka tungtung
si lutung pindah pindah pindah pindah pindah


Pindahlah Salimah sudah
disapu jagat!


2015
gambar diambil dari sini
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

  1. Lalu apa ini, kemarahan. Saya belajar banyak dari sini. Manusia banyak macamnya. Saya kagum karena penulis bisa merangkum banyak sekali kejadian. Seperti tidak ada titik koma, jeda.

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!