Kart's

Daily Notes

Monolog dalam Kardus: Sebuah Narasi Puitik tentang Mahasiswa pada Malam Apresiasi Wisuda

1 comment

Pedagang Cilok dan Gorengan di Gang Sempit Pelesiran

Ceu Milah: (dalam kardus, jongkok) Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk! Neng, bala-balanya Neng. Jang, ketannya Jang. Oh, bade? Bala-bala saja? Mangga. Tiga jadi seribu rupiah. Ciloknya kenyal pakai bumbu kacang. Oh tidak suka? Yang lain, geulis? Combro, oncom di jero, juga ada. Karoket mah habis. Sukanya bala-bala si Neng teh geuning, tapi jangan ngabala yah! Ini kembaliannya. Cekap? Hatur nuhun! (mengangkat nyiru) Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk!

(berdiri dalam kardus) Eceu mah memang siga bujur aseupan. Tidak suka diam. Pengennya tuh gudag-gidig keliling kota. Jadi jangan heran kalau Eceu mapay jalan dari gedung sate sampai ITB kadang sampai ke Cihampelas. Pernah juga mengantar pesanan 100 pisang goreng buat pengajian di masjid, mengantar 200 kue basah dan 200 ketan kelapa buat seminar mahasiswa.

Cilok teh aci dicolok, Kasep, maednya teu apal. Ceuk batur mah dagang teh teu kudu pendidikan formal. Eceu cuman lulusan Sekolah Rakyat, anak 9 mati 1 tingga 8. Cucu sudah... satu dua satu dua, 22. Si Eneng sulung menikah sama si Samsul anak juragan beras lulusan S2 Teknik Pertanian. Si Ujang lima tahun kuliah di luar negeri tidak balik-balik. Si Bungsu Kadeudeuh lima kali seleksi masuk, naon ceunah, Senampeteen, tidak keterima-terima. Sekarang jadi tukang ojek da keukeuh bukan pakai helm malah pakai toga kemana-mana. Eceu heran kenapa anak cucu teh pada ngamuk pengen kuliah.

Kasep, Geulis, emang apa enaknya jadi mahasiswa, Eceu tanya! Emang enak jadi mahasiswa? Ditagihin bayar SPP sepuluh juta ceunah tiap semester. Ih amit! Mending beli sawah. Si Sarbo’ah kerja pagi pulang malam jadi buruh pabrik dan tangannya sering berdarah dan menabung sisa gaji lima ratus rebu tiap bulan cuma buat melamar jadi mahasiswa, cuma buat duduk di bangku elit kampus. Sarbo’ah kerja sampai mati buat kuliah. Aduh, aduh, aduh. Yang kuliah inginnya cepet lulus dan sejahtera eh taunya ijazah ketumpahan minyak, tidak laku di perusahaan asing. Cari kerja, cari kerja, cari kerja. Akhirnya jadi buruh pabrik. Lah ini mah kuliah buat cari kerja, cari kerja, cari kerja terus. Kapan mau mempekerjakan? Aduh, aduh, aduh.

Cilok dan Gorengan Ceu Milah—Terima Pesanan, Antar Gratis. Begitu kata spanduk di depan rumah. Gini gini juga Eceu teh sudah punya 12 gerobak tersebar di jalan dan 7 pekerja di dapur. Semuanya sarjana kecuali yang baru magang kemarin, masih nyusun skripsi tapi ingin berpenghasilan katanya. Makanya, jadi mahasiswa, Kasep, Geulis, jangan protes melulu tanpa proses. Apalagi sampai rusak-rusakin gedung. Bakar saja sekalian baju-baju kebesaran yang kalian sebut jaket himpunan kalau toh jadi baju tahanan. Cukup belajar yang rajin dan tersenyum! Pakailah minyak rambut di hadapan dosen. Hentikan dulu main game dan titip absen. Ingat selalu tiap pepatah dan tetes keringat ibu bapakmu. Ingat selalu subsidi pemerintah yang dikumpulkan dari tangan-tangan rakyat seperti kami.

Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk! Cuma menawarkan kok, suka ya beli, tidak ya jangan cemberut. O, alergi makanan berminyak kayak begini? Takut kolesterol? Tidak selera? Atau lebih suka hokabento, berger, sushi dan teriyaki? Lebih bergengsi tentu yang harganya selangit. Tapi mahasiswa sukanya yang murah meriah. Berdasarkan ilmu pasti, beli cilok satu plastik tidak akan bikin minus buku tabungan, Geulis Kasep. Bagi-bagilah beasiswanya. Awal bulan mahasiswa-mahasiswa kabarnya menyempatkan sesekali nongkrong di mall dan restoran. Akhir bulan mojok di kosan sambil nyeduh mie instan. Bahkan ada yang tidak pulang-pulang karena uang kos nunggak tiga bulan. Akhirnya nyasar ikut-ikut seminar gratis biar dapat nasi kotak atau mengemis-ngemis pada pemilik warung supaya dapat kortingan.

Jangan salahkan pengemis-pengemis serupa anjing buduk itu, Barudak, yang suka menadahkan tangan, yang suka mengobrak-abrik tong sampah mencari sisa makanan. Jangan salahkan para pengamen, anak-anak penjual tissue dan bencong-bencong yang mengganggu makan malammu di Angkringan. Kamu sendiri tidak pernah mengajaknya makan dengan beradab. Nanti keenakan dia, katamu. Sudah berkali-kali kamu kena tipu. Memprihatinkan sekali wajah mereka. Sebetulnya tampang jelek maupun cantik bisa jadi modal. Seperti lirik lagu di bus damri itu, “Gadis cantik jual harga diri, bencong jelek jual bulu ketek.” Kalau para penggaruk gitar lewat, kau hanya memberi receh sambil pura-pura ngantuk. Takut kalau-kalau biaya perawatan gitar mereka mengalahkan harga ranjang tempat tidurmu.

Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk! Mau pesan berapa bala-balanya buat sarapan besok sama nasi uduk, Neng Geulis? Uh, pasti sedap pisan. Apalagi ditambah gurih sambel oncom. Pesan saja bala-balanya, Sayang, biar tidak kehabisan. Kalian sendiri sering kan bikin produk pesanan lomba, proyek pameran, dan acara-acara. Ya meskipun akhirnya kalah lagi, kalah lagi. Kalau menang pun cuma dapat medali atau piala atau piagam atau selembar sertifikat, honornya tidak seberapa tapi cukup buat ngeborong bala-bala sambel oncom.

Mahasiswa itu lebih terhormat daripada presiden, kiai, ustad maupun guru. Pantas saja si Udin pengen selamanya berstatus mahasiswa. Presiden tidak ada apa-apanya, kerjanya cuma pidato-tandatangan, pidato-tandatangan. Kalau krisis ekonomi, Pak Presiden sembunyi, takut dilengserkan mahasiswa. Kiai kanjeng ya diziarahi, segan sama mahasiswa. Ustad ya mengusir setan, tidak bisa mengusir mahasiswa. Guru ya menggurui siswa-siswa, pengawas ujiannya tetap mahasiswa. Jika setan membangkang sekali, mahasiswa melawan seribu kali dengan pemberontakan. Mahasiswa pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak ada tanda baktinya kecuali bonyok-bonyok di muka. Kajian dianggap sesat. Demonstrasi dihajar polisi. Jadi panitia di sana-sini biar menambah daftar panjang pengalaman organisasi. Musyawarah sampai subuh sampai otak mencret. Berdiri menantang mahasiswa-mahasiswa di jalanan ibu kota. Serbu!

Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk! Produk asli Bojongsoang ini teh bala-balanya. Di Prancis mah tidak akan nemu. Eceu curiga, jangan-jangan mahasiswa juga pesanan asing. Lihat saja lulusan-lulusan universiti dan institut penuh gengsi. Kalang kabut melamar kerja ke perusahaan-perusahaan beken, naon eta namanya, wah susah dihafalkan. Mahasiswa mungkin memang mesin produksi pesanan asing. Apa yang dihasilkannya buat siapa? Buat rakyat katanya. Rakyat yang mana? Rakyat yang kelaparan atau rakyat yang rakus? Dua ratus juta rakyat kini bertambah tidak muat di pulau yang terpecah-pecah. Mesin produksi pesanan asing menumbuhkan industri di mana-mana. Demi apa? Demi pribumi katanya. Bumi yang mana? Bumi pertiwi, Indonesia. Bohong! Buktinya tidak ada motor merek Sarbo’ah atau henpun (handphone) merek Saripudin.

Tapi Eceu percaya. Tidak perlu bom atom buat menghancurkan Pulau Jawa dan sekitarnya dan kemudian seluruh mahasiswa Indonesia bangkit dari kehancuran buat perbaikan bangsa Indonesia. Beurat bahasana yeuh. Tidak perlu! Dengan bensin revolusi, mahasiswa dari kulit susu, kulit sawo busuk sampai kulit aspal selalu mencari-cari sejuta cara biar laboratorium penelitian mereka berguna buat meneropong masa depan dan alat-alat bantu serta tabung reaksi memangkas kemiskinan, kemacetan, kekeringan dan kebodohan. Betul kan? Ah, pusing. Mending keliling gang pelesiran. Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk!

Anjing! Ada anjing. Hus-hus-hus. Siah! Sejak kapan anjing suka bala-bala, ketan dan cilok? Aw. Kaditu, Anjing! Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk! Bagaimana pun dikejar anjing tidak sesusah dikejar satpol PP dan petugas KPK. Akh sering kita lihat di televisi, gerobak pedagang cilok dibabat habis buldozer sementara para koruptor yang menguras habis brankas negara kita malah pelesiran ke luar negeri. Mereka, para koruptor itu, tiada lain adalah mantan mahasiswa cerdas, jujur, dan sering itikaf di masjid, tiada lain adalah alumni penjunjung tinggi integritas dan komitmen. Kalau begitu mari kita jual ijazah pada anjing-anjing buduk itu saja!

Mahasiswa perguruan tinggi negeri sama saja dengan mahasiswa kampus ilegal. Semua tandatangan palsu, pas foto manipulasi, karya rekayasa, skripsi plagiat, anggaran biaya kuliah tipuan, dan riwayat hidup cuma pura-pura. Di depan podium, para mahasiswa menggaungkan Salam Ganesha, salamnya dewa pengetahuan. Eceu cuma bisa Salamu’alaikum. Kudengar mereka berteriak sebagai mesin produksi pesanan Tuhan, bangsa dan almamater! “Merdeka. Merdeka. Merdeka.” Padahal tidak ada kemerdekaan selama gerak robotik terkerangkeng nilai-nilai akademik dan indeks prestasi. Dan kacamata silindris berubah jadi kacamata kuda, harus lulus 4 tahun saja. Pancasila diabaikan. Jalanan dan tempat parkir mampet kendaraan. Plastik bekas bungkus cilok bertebaran. Kampus jadi lautan sampah. Bala-bala. Ketan. Carilok. Cilok. Bade yuk!

Bandung, 2015




Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

  1. Ini narasi merinding banget di gue! Hahaha. Luar biasa kamu kar

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!