Kart's

Daily Notes

Puisi, Rujak Imajinasi dalam Kantong Ajaib

1 comment
Di tengah definisi banyak sastrawan tentang puisi, aku ditodong pertanyaan kawan, “Menurutmu, kenapa aku harus mencintai puisi?”

Aku sendiri belum selesai menemukan jawaban puisi itu apa, lahir dari mana. Dan beberapa tahun aku kebingungan mencari alasan kenapa aku mencintai puisi. Sekarang aku seolah-olah harus menjodohkan kawanku dengan puisi. Kutanyakan lagi padanya, apakah dia sadar, takut kalau kepalanya baru terbentur. Dia ternyata serius dan mengulang lagi pertanyaan, “Kenapa aku harus mencintai puisi? Jawablah. Kau kan seorang puisioner.”

Aku ketawa dengan sebutan ‘puisioner’. Sepertinya dia lebih akrab dengan istilah ‘revolusioner’ ketimbang ‘penyair’ atau ‘pujangga’. Kau bisa menebak wajahnya yang polos berkacamata tebal seperti halnya Nobita yang ingin ini ingin itu banyak sekali. Di kepalanya tumbuh mimpi-mimpi untuk menaklukkan dunia dengan robot-robot raksasa atau mengendarai pesawat luar angkasa dan melesat jauh mengacaukan mesin waktu.

Imajinasi dapat merubah dunia. Mungkin ada yang tidak sependapat dan mengatakan kalau menggeser batako saja sudah merubah dunia dan bukankah dunia memang setiap saat berubah? Ingatkah kau, dari dulu sudah muncul nama-nama tokoh keren seperti Einstein dan Neil Amstrong? Kita boleh jadi seperti mereka. Tapi apakah kita punya perlengkapan yang memadai untuk membuat sebuah penemuan dan menyusul orang pertama mendarat di bulan?

Makanya, satu-satunya alat hemat menurutku untuk mengasah imajinasi adalah puisi. Di kelas Desain Grafis, aku juga berimajinasi menggunakan alat grafis. Manual, paling tidak butuh cat poster dan kuas. Digital, paling tidak butuh laptop berkapasitas lumayan dilengkapi software Adobe Ilustrator. Penciptaan puisi, manual maupun digital, tentulah lebih hemat. Kita hanya perlu mempersiapkan kertas dan pulpen atau Microsoft Word dalam netbook. Tapi aku tidak ingin pilih kasih di kedua bidang yang aku cintai ini.

Sastra dan desain seperti kembaran yang terpisahkan jarak keilmuan. Mereka berdua mirip, hampir. Jika cerpen berteriak lantang sebagaimana poster. Puisi berbisik sebagaimana logo. Meski hanya berbentuk tanda panah tapi jangan salah, kita lihat logo baru Pertamina. Kedalaman makna, daya jual dan kelanggengannya bukan main. Begitu pun dengan puisi. Tentang puisi sebagai identitas, siapa yang tak kenal Chairil Anwar dan puisi ‘Aku’?

Bertentangan denganku, Kukuh Samudra, manusia irit se-ITB yang mencintai buku, mengatakan kalau buku puisi itu pemborosan. Ia rupanya malas membeli buku yang setiap halamannya hanya memuat beberapa kata. Itu menghabiskan bahan kertas dan ongkos cetak. Tapi di situlah letak keindahannya. Puisi bukan saja perkara penyusunan kata-kata tetapi pemosisian ruang, permainan bunyi dan masih banyak lagi, tergantung identitas yang ingin kita bangun. Puisi merupakan kantong ajaib, kecil tapi kita bisa mengeluarkan apa saja dari dalamnya. Apa saja. Prismatik ke segala arah.

Tapi kenapa ada puisi mantra yang tanpa makna, puisi yang menakankan bunyi saja, puisi yang bercerita, puisi panggung, puisi kamar, dan sebagainya? Kenapa puisi Sutardji dan Sapardi begitu berbeda? Kita lakukan sebuah pemisalan. Puisimu sama seperti sebuah penemuan. Penemuan kan bukan melulu teknologi. Bisa saja racikan rujak atau formula obat.

Ilustrasi ini kudapat dari seorang musikator puisi, Ari KPIN. Rujak Acep Zamzam Noor yang pedas manis tidak sama dengan Acep Iwan Saidi yang manis asin dan tidak sama dengan Cecep Syamsul Hari yang asam manis. Mereka punya resepnya masing-masing. Untuk menjadi seorang perujak, minimal kita pernah mencicipi rujak mereka. Bisa saja kemudian kita mencuri resep para perujak itu dan mencampurkannya dengan rujak buatan kita sendiri. Jadilah rujak baru, penemuan baru, yang resepnya ingin dicuri-curi para perujak pemula. Tapi itu butuh waktu yang tidak sebentar dan dada yang sabar.

Ahda Imran pernah menuliskan tentang konkretisasi abstraksi dalam proses kreatif puisi. Karena aku ragu apakah kau berkarib dengan kata ‘abstrak’ dan ‘konkret’, izinkan aku meminjam istilah sederhana guruku, Yusuf Gigan. Dengan puisi kita bisa mengubah apa yang tidak ada menjadi ada! Cinta itu apa, kita tidak tahu. Namun Sapardi menuliskan ‘seperti kata yang tak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu’. Kangen itu bagaimana, kita pun tidak tahu. Tapi W.S. Rendra menuliskan ‘apabila aku dalam kangen dan sepi, itulah berarti aku tungku tanpa api’.

Puisi memang mengada-ngada, kadang aku juga tidak sampai percaya padanya. Saat menulis puisi, kita seperti mewarisi tangan Tuhan. Misalkan burung dan api adalah makhluk ciptaan yang beda. Tapi dengan puisi, Hanna Francisca bisa menciptakan ‘burung api’. Bisa juga bermain-main dengan kata kerja. Misalkan kita bukan disuruh tidur sebab Ari KPIN berbicara ‘tidurkan sejenak lidahmu’.

Kita bisa memerintah dan menciptakan sesuatu yang tak masuk akal sekalipun. Sebab berpuisi itu tidak butuh modal banyak. Asalkan kamu mau berimajinasi. Serius. Seseorang semanja Nobita pun pasti bisa kok mencintai dan menulis puisi.
Illustrated by Wahyu Irawan



2015

Daftar Pustaka
Maaf, tidak ada.

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

  1. Wow, ternyata kawan yang satu ini sangat mengerti puisi dan sastra, mesti banyak belajar nih dengan mba. saya juga pernah mempertanyakan jatidiri puisi (saya) ditahun2 awal saya mulai rajin melukis dengan kata-kata. Kadang kala (dan mugkin seringkali) puisi itu adalah kita sendiri :)

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!