[1]
“burung ini tuan garuda!”
demikian kata hamba sebangsa
sambil membusungkan gelora
dengan bangga dan bahagia
berbekal tiket lengket yang dibeli
dari petugas loket, berbondonglah mereka
untuk sekadar dua bentar menyemai sorak sorai
sampai mendulang sekeranjang kisruh
kiranya
alangkah megah permadani stadion
ketika kubaca label kursi khusus penonton: mahal
setara dengan harga separuh nyawa, sejuta euforia
padahal, kutahu
letaknya tak jauh-jauh amat
dari dusun paru-paru dan dua bukit gundul
kutonton lewat layar tancap saja, ah..
[2]
seiring riuh gemuruh, ratusan ribu
telapak tangan terkepal teguh setinggi perdu
diikat dengan semangat persatuan
sementara tuan garuda sungguh sedang berjibaku
dengan cakar-cakar
pada kakinya yang tajam sekali itu,
dicabiknya musuh hingga terjatuh,
lumpuh lalu mengaduh
dengan bulu-bulu emas
pada ekornya yang mengembang sekali itu,
dikibaskannya skor gemilang
lima-satu tak kepalang
burung ini tuan garuda yang jantan dan perkasa
erangannya berdengung-dengung
memasung lengking kemenangan
yang tersangkut di tenggorokan
[3]
belum lama nyenyak di kasur kapuk empuk,
tuan garuda sudah bermimpi dalam tidurnya
ia mimpi jadi bintang iklan pulsa, bintang opera,
dan akhirnya jadi pelawak botak yang rela dihina-hina
bangun pada laga final, atraksinya makin binal
dipahatlah keangkuhan di atas perisai
dengan paruh seruncing pisau sebelum nanti
menggagahi harimau yang bangkit dari sakit
lihat, leher cacat itu kini menggeliat betapa hebat
usai dipijat-pijat uratnya oleh wartawan dan artis seksi
sehingga tuan garuda tak lagi berpaling ke kanan, sebab
pijakan lawan jelas kelihatan selalu di depan
di kandang yang bau, hamba sebangsa mengelu-elu
lalu pulang satu-satu dengan wajah merah trenyuh
uh, tak dinyana tuan garuda telak tenggelam
ke nganga kenyataan yang dalam: takluk
[4]
tuan garuda kini sedang menyeduh segelas peluh
tanpa perlu berbagi sedikit saja denganku
mata luyutnya yang bagai preman mabuk itu
seakan mau berseru, “lepaskan dulu aku!”
masih pagi buta, kusaksikan burung yang sama
sedang bertengger di tingkap dahan, sendirian
barangkali tuan garuda nekat hendak melancong,
kuberpikir begitu saat melihat gelora yang kosong
serta merta kudengar pada waktu yang sama
kepak sayap burung menerjang angan dan angin
yang mantap merintangi lelah
ke tempat di mana nyonya bintang berada..
“burung itu tuan garuda!”
demikian kata gelora bung dada
sambil menerawang angkasa
dengan sesobek ketulusan doa
Cianjur, 2010
:: Dokumentasi Puisi Kartini Fuji Astuti
0 comments:
Post a Comment
Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!