Kart's

Daily Notes

SCIENCE7 The Adventurer

2 comments
Hari Kamis, SMANSA LIBUR.
OH YEAAAAAAAAAAAAAAY!!!!!!!! (sound effect: mercon yang ditembakkan sejauh puluhan mil)

Karena TIDAK MAU menyia-nyiakan holiday time seharian penuh hanya dengan bengong di kolong kasur (persis seperti ayam bertelor), aku dan teman-teman berinisiatif untuk pergi berwisata ke Cibeureum.

Sekali lagi, BERWISATA KE CIBEUREUM!

Intinya sih bukan berwisata tapi berlelah-lelah! Yah, namanya juga naik gunung, pasti lelah setelah sebelumnya merenung semalaman dan mengalami dilema parah di depan lemari, “Ngg.. Mau pake baju apaan, ya? Training atau dress? Yang kuning atau yang koneng?” Teruslah berpikir, sampai otak cenat-cenut lalu meledug. Sampai mencret-mencret saat bolak-balik ke toilet.

7:11
Imam dan Edo membusuk di jok motor. Yusra dan Mariam membusuk di bawah pohon palem. Mereka sedang menunggu teman-teman (yang pasti bakal ngaret) selama berjam-jam di sekolah.

Sambil menunggu, Mariam keluarkan compact powder hingga sesekali tersenyum dan berpikir, “Alangkah cantiknya aku ini!” Berdasarkan pengalaman disertai bukti otentik yang ada, penantian kaum hawa biasanya berdampak pada lunturnya bedak dan menggesernya lempengan ciput. Umm =.=a

Begitu angkot biru tiba, kami yang sayangnya tidak dalam formasi 30 langsung mengambil posisi duduk. Semuanya bersidekap. Siap-siap meluncurkan ocehan dan menuai gosip-gosip terhangat (untung teu pasedek-sedek).

Sebelum kami berangkat, si ayah Imam mengawasi kondisi. Menyadari Irin yang duduk di ambang pintu angkot, nurani kepeduliannya pun tersentak.
Imam : “Tong diuk di dinya eta, seteh! Kajero! Kajero!”
Irin : “Nggak mau. Di sini aja ih.”
Imam : “Bisi tiguling maksud urang teh. Sok kajero! Ngeser, hei! Bisi tiguuling.”
Novi : “Huaaa… Imam baik. Imam perhatian. Imam, aku suka. IMAAAAAAAM!”
Asep : “Hati-hati eta, seteh! Baca do’a heula samemeh berangkat! Bisi tiguuling.”
Novi : “??”

(gah! si Asep, paduli teuing..)

Selang beberapa menit.
Santi : “Muthia kenapa diem aja?”
Annisa : “Ngecas heula cenah, Susan. Apan engke.. WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!”
Kartini : “Waduh Sito.”
Muthia : “Ih kalian mah, gitu da ke akuuuuuu. TERUS AJA TERUS!”

Perjalanan berlangsung damai tanpa terperosok ke dalam ngarai. Pun tanpa dihalau sederetan kecelakaan yang sering kami tonton lewat Liputan 6. Irina juga tidak tiguling berkat saran Imam. Alhamdulillah..

Namun, beberapa dari kami menampakkan kegalauannya. Bahkan setelah turun dari angkot. Entah mengapa.
Yusra : “Pengen ngupiiil. Gateul beudh.”
Mariam : (celingak-celinguk, teu daek cicing) “Mana sih?!”
Annisa : “Lieur hulu yeuh! Argh!!”
Mariam: “Duh.. mana sih? Katanya mau ikut. Kok belum keliatan, yah?”
Nida : “Iam mikirin Oank yah?”
Mariam : “Bukan ih.”
Annisa : “Asa teu ningali si Hulk. Moal ngilu sugan.”
Yusra : “Cieee… Tuti kampungan sama Hulek.”

Lihat saja, ekspresi mereka tak ubahnya burung perkutut.
Seseorang yang kalah cekcok berusaha menyetop pembicaraan. “SHUT UP!”
Yang jika didengar dari mulut Annisa, bunyinya jadi seperti ini: “SEDAP!”

Ok. Jangan hiraukan gadis-gadis itu! Saatnya kita bertualang….

 muka-mkanya turis abis, padahal disenggol sedikit pingsan

Menyimak dari peta, Cibeureum Waterfall terletak 2,8 kilometer dari pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Artinya, perlu waktu antara setengah sampai dua jam untuk mencapainya. “What? Cabe dweechhh!” lenguh Yusra Arizana yang saat itu kutemui sedang garuk-garuk hidung.
“Iya ih. Cape banget deh kayaknya. Ehei, kenapa kamu, Ra?”
“Inii. Koq upil gw jadi enceeer begiiini yach?”
“Bzbzbzbzbz..” (itu mah ingus kali, Ura!)

Dan terdengar riuh siamang yang menyambut akrab. Pertanda kami sedang berada di kawasan belantara. Waw. Lihat! Kelebat kabut di antara gesekan dedaunan tampak bagai kapas kusut yang berburai. Meriap panorama yang purba dan menyisih awan hari ini.

Di sepanjang jalan setapak, dingin dan lembabnya udara bukan satu alasan untuk membuat semangat kami membeku lalu padam. Dingin dan lembabnya udara tidak juga membuat Mariam (yang lupa bawa sweater) urung mendaki gunung, sebab ada Doank. Sebab kekonyolan, canda tawa, gandengan tangan, pelukan, adu bujur, dan sebagainya.. dan sebagainyaa... rasa-rasanya kerap menyelimuti setiap tubuh yang menggigil.

Sementara harum rasamala berkitaran di jembatan, melayang-layang dan meluncur mencari bulu hidung yang kekerepekan. Sangat teduh. Apalagi saat mata menangkap sungai kecil yang mengalir jernih dengan air berkilauan bak ditaburi serpih kaca. Indaaaah!
Sesekali, beberapa penghuni hutan menampakkan diri: Kodok. Tupai. Ular. Oa. Monyet. Gajah. Komodo. Harimau. Macan tutul. (baguuus, sakalian we absen sakebon binatang)

Yaaahhh…… Tapi, tenaaaang.. kami tidak sama sekali takut, karena ada pecinta hewan yang siap sedia melindungi kami: Rizki Doank.

Teman-teman, terus terang, ini FIRST MOUNTAIN CLIMBING aku loh. Saking tidak tahu harus packing seperti apa, aku sampe mau pake baju pengajiaaaaaannn!!!!!!!

Yah. Kali pertama. Makanya aku agak-agak takut nyasar gitu.. Takut kalau-kalau kejadiaannya seperti yang sering Pak Edwin ceritakan di kelas. (maaf, jadi curhat)

Imam (sang pemimpin, hoex. paling bijak sedunia, double hoex) memberi isyarat pada kami supaya jangan terburu-buru bisi tisereleu saat berjalan melewati jalanan selebar satu meteran ini, karena jalan yang ditempuh penuh bebatuan berlumut dan terus dan terus dan teruus menanjak. Kalau lelah, ada beberapa pos penjagaan yang bisa disinggahi sambil mengistirahatkan kaki. Kalau masih lelah, ada beberapa jurang yang bisa disinggahi sambil mengistirahatkan nyawa.

Di kilometer 1,5.. setelah menyibakkan ramat lancah, melangkahi tanah becek, lantas meloncati semak-semak dan beberapa batang pohon yang tumbang, kami menjumpai TELAGA BIRU!


Telaga Biru. Sebuah perairan yang menggenang, tempat belut berenang. Agak tercengang kulihat kemilau matahari menapak di situ, hingga telaga ini membiru. Biru sebiru-birunya warna biru. Sito bilang, ganggang biru di dasar air-lah yang menyebabkannya terlihat biru. Aku tidak percaya apa pun tentang ilmiah, Sito. Kuyakin, ada bubuk bulao sejolang yang tumpah. Hmm! Pasti ada orang yang mengira telaga ini mesin cuci.

(mode: so berpikir)

Nah, untuk para penggemar fotografi, berpijaklah di spot menarik ini untuk memotret pesona Gunung Gede Pangrango. Spot ini. Juga bisa ditemui pada saat kami meniti jembatan kayu sepanjang satu kilometer. Dari jembatan, Gunung Gede Pangrango tampak kokoh dengan awan gemawan yang hanya tinggal serabut, karena berbaur dengan kabut.

“Hati-hati melangkah!” begitu kata ayah Imam. Cuaca pegunungan yang ekstrim sekarang ini memang membuat jembatan menjadi licin nan rapuh. Kalau ceroboh, bisa saja kami masuk ke nganga mulut seekor buaya yang tinggal di rawa-rawa, jauh di bawah jembatan.
Atau, bisa saja jatuh menimpa tempurung kura-kura. Kalau iya, akan kuajari kura-kura itu cara berenang yang baik dan benar. Eh ehh, nggak mau ah. Menurut kabar yang beredar, kura-kura di sekitar sini tidak pernah keramas. (aduh, jadi pabaliut._.)

Yusra: Viewnya mendukung beudh, sayang objeknya kampungan.

Usai melewati jembatan kayu, lagi-lagi kami bertemu sesuatu yang paling memuakkan sejagat: jalanan terjal nan berbatu. Namun dari sini, derasnya air terjun Cibeureum mulai terdengar gemuruhnya. Mencipratkan percik air dan mendesahkan embusan angin tepat saat aku ingin terbang ke atasnya. Air terjun ini sungguh manja dan menggoda. Sementara kau tahu, kakiku sudah pengkor semenjak tadi. Jalanan itu. Its killing me! Aku muak terus-terusan berjalan, tahu!

“Huaaaaaaaaaaaa………. AKHIRNYAAAAAA!!!! Lari hayu, Kart! Udah nyampe! SEMANGAT!!!!” Icha menjerit berapi-api laksana seorang pengembara di gurun pasir yang menemukan fatamorgana.
“SEMANGAAAAAAAAT!!” sahutku sekeras-kerasnya meski kutahu suaraku masih nyangkut di tenggorokan. Sementara Icha sudah menghilang kemana entah, dirampas air terjun yang berhamburan ke dasar. Ingin rasanya kucopot dulu kaki sebentar agar tak merasa pegal.

“AKU JATUH CINTA PADAMU, AIR TERJUN!”
Santi: Brott. Novi: Brottttt. Imam melekbek.

Ah, semua kelelahan terbayar. Pesona air terjun Cibeureum tak hanya pada derasnya air yang menghantam tempat kami berpijak dari ketinggian 50 meter, melainkan juga karena lumut merah atau spagnum gedeanum yang tumbuh endemik di sekitar situ (jangan tanya apa artinya.. plis!)

Melihat pesona ini, dipastikan siapapun tergoda untuk mandi dan berenang. Nah, silahkan nikmati kebersamaannya. Aku mau cari kura-kura dulu ya tem--klebek klebek... WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA aku tikusruk, aku tikusruk!! TOLOOOOOOOONGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!

Belakangan aku berpikir, tidak ada satu pun yang mau menolong. Makanya aku stress, sendirian, kekecepekan di dalam air. Nasib.. nasib...

Selain bisa merasakan sejuknya hawa pegunungan dan pesona tiga air terjun dari dua tempat peristirahatan, kami juga bisa melirik beberapa pasangan mesra yang sesekali main-main air. So giung abis dah.

Ambil contoh:
Doank dan Mariam.
Yogi dan Yusra.
Asep dan Muthia.

Awal kisah cinta sih sederhana saja..
Misalnya begini.
Kaki Muthia keram. Asep tiba-tiba berubah wujud jadi tukang pijat sementara itu.
Asep : “Lempengkeun we! Lempengkeun!”
Muthia : (ngangguk)
Asep : “Tah kitu.”
Muthia : “Makasih ya, Sep!”
Asep : “Sama-sama, Sito.”
Muthia : “Eh?”
Target utama: membuat Sito terpesona. Hampir berhasil. Cihuy!

Kasihan Edo, merasa kehilangan Nunu.
Sementara Hayat berubah fungsi jadi tripod kamera.
Ogi: Saya oke nggak kalau peureum seperti ini?

Disekitar air terjun Cibeureum juga tampak dua air terjun lainnya yang berukuran lebih kecil. Masing-masing adalah air terjun Cidendeng dan air terjun Cikundul.

Lihat beberapa temanku (Asep, Doank, Novi, Santi, Irin dan Icha) yang nekat mencari kesenangan dengan pergi ke bawah air terjun paling deras di antara ketiganya. Entah Cidendeng atau Cikundul namanya. Tapi yang jelas, air terjun di sisi kanan ini lebih sepi pengunjung.

Menyeramkan. Setidaknya itu menurutku setelah mendengar lengkingan suara maha gaib. Aku curiga, jangan-jangan kawasan wisata ini dulunya adalah tempat genderuwo bikin anak. Tempat peternakan wewe gombel. Yah, dan di sana, tepat di bawah curam itu, seperti ada kuntilanak cekikikan yang bersarang pada lumut. Aku sungguh tidak tega melihat teman-temanku kerasukan jin. WAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA. GAWAAAAAAAAAAAAAAAAAATT!!!!!!!!

Aku dan Nida yang mengantar mereka sampai batu besar saja sampai ngilu karena dingin airnya itu LOOOOOOOOOHHHH. Menusuk bangett bangetttt bangetttt. Berasa keropos tulang gitu deh. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu mereka. Gemetar rasanya aku begitu mendengar jeritan teman-teman. Berdengung-dengung. Melengking. Begitu pekak. Begitu menghariwangkan. Aku berdoa, semoga mereka tidak dicekik kuntilanak. Amin.

Aku terdiam. Lama sekali. Pelanga-pelongo cemas menyaksikan kabut yang semakin menggumpal. Aku takut kalau-kalau terjadi sesuatu. Badai salju, misalnya. Longsor. Gempa. Hujan asam. Huaaaaaaaaahh.. parno banget emang.

Irin: “Air terjun yang di sana seru banget tau. Si Icha sampe tengkurep meluk batu. Hahahahhhhh.”
Icha : “Iya ihhh. Coba ya, aku kan suka takut ya, jadi gini. Mau jatuh coba, Kart…”
Pelajaran yang dapat kuambil : Jangan parnoan, jangan peka pada es atau air dingin, jangan sotoy, damai sama kuntilanak, damai sama genderuwo, damai sama wewe gombel, damai sama sinetron tipi, sama pelajaran geo, dan lain-lain, dan lain-lain.…. kalo pengen merasakan keseruan yang SAMA!

Perjalanan jauh ke sini sangat menguras tenaga. Udara Pangrango kerap membuat perut lebih cepat lapar. Bekal nasi timbel bisa dinikmati di tempat peristirahatan sambil memandangi air terjun. Tersadar aku tatkala itu: tidak secuil nasi pun kubekal dari rumah. Sedang aku belum pula makan dari pagi. Rasanya pengen nangiiiiiiiiissss. Laper bangeettt bangetttt bangettttt. Tapi untung ada yang berbaik hati menyisakannya untukku. Cihuy!

Petikan obrolan aku dan Icha sewaktu turun gunung (dikawal oleh ayah Imam dan Hayat):
Bule : (tiba-tiba nyeruduk bergerombol)%!*&)@$*&*(^#)&#^
Icha : “Ngomong naon sih?”
Kart: “Wacingcong wacingcong… au ah.”
Pengunjung1: “Samlekum. Masih jauh nggak neng?”
Icha : “Kumsalam.”
Kart : “Ah. 15 menitan lagi kok.” (dendammmm… tadi aja dibilang 15 menit lagi.. taunya jauh banget!)
Pengunjung2: “Capek brow.”
Pengunjung3: “Lumayan lah, buat bakar lemak.” (ketawa-ketawa di sela obrolan)
Icha : “Ahahahhhh. Kita mau ngebakar apa?”
Kart : “Kari tulang, Cha.”
Icha : “Dempes.”
Kart : “Lah leuleus turunna ge, ngagorolong we yuk pake daun cau….”
Icha : “Teu kabayang. Hahahahahahhh.”

Sekitar jam 2 kami solat dzuhur. Lalu pulang meninggalkan jejak persahabatan pada jalanan terjal nan berbatu. Pun menanggalkan sekecup kenangan pada dingin air terjun.

Akhirnya kami tahu kenapa Annisa ingin cepat-cepat turun sambil menangis. Kenapa Annisa cemberut setiba di kaki gunung.
“Hayang ngompol Enna teh nyaho! Titadi…. hh……. teu kuat aingah atuda!!” gerutu Annisa berjeda sesaat ketika mengambil nafas. “Kaliaaaaaan……. hare-hare we!!!!”
“OHHH ENNA TEH PENGEN PIPIS?! ATUH KITA PAN GATAU, ENNA!”
“SAKITU ENNA NGOMONG. HEI, ENNA PENGEN PIPIS, KATA ENNA TEH….”
“Kita kan nggak ketemu WC, yah iam yah?”
“SHUT-UP!”
Dasar Tuti.

Inti dari percakapan di angkot selama perjalanan pulang: Gosip tentang Tuti yang merindukan Hulk. Dan tentang Sito yang dapat SMS cinta. WAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!

Mengingat flashbacknya, hmm…
Perhatian Bapak KM kepada kami semua…
Asep kepada Muthia…
Yogi kepada Yusra…
Doank kepada Mariam…
Kalian kepadaku meski aku belum merasa perhatian kepada kalian :*
Dan, yahh..........
meski kita kadangkala hina-menghina atau berlomba-lomba dalam keegoisan, tampak autis di mata Pak Tendy... tapi nyatanya kita tetap peduli satu sama lain. Take care, ya teman-teman. Betapa beruntungnya aku mengenal SCIENCE7.

It’s all good. Keep the spirit! And stop the—WAAAAAAAAAAAAAAAAAA! BESOKNYA PELAJARAN FISIKAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!! :O
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. tuti (tukang tipu) : annisa maryani
    hulk (panggilan kesayangan dari annisa) : fakhri wiratama
    sito (si toa yang panikan) : muthia octaviani

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!