Kau tentu pernah mengalami masa kanak. Suatu masa di mana perahu kertasmu tertambat di pulau paling merdeka.
Sungguh aku rindu kembali menjadi percik embun pagi, hanya menetes dari daun, mencecap kerikil dan akar pancang. Bukan lembayung yang sibuk merias wajah senjakala untuk menjadikan dunia sebagai pengantin. Saat aku menjadi embun, segala mimpi yang terbit di mataku tampak mungkin.
Dulu, aku suka sekali bermain: mendirikan rumah-rumahan dari tanah lumpur, memanjat pohon kersen hingga terpeleset jatuh, berenang di sungai yang deras arusnya, menari-nari di bawah rintik hujan atau menyanyikan lagu cingcangkeling sambil menabuh kaleng susu.
Sayangnya, masa-masa menyenangkan itu sudah menggali liang kubur bagi dirinya di pemakaman kenangan. Pop serta segala hal praktis lahir dari cakar-cakar globalisasi, menggores dan mengambil alih budaya masa kini. Entah itu permainan, lagu, film, junk food, tren fesyen, atau bahkan gaya bicara condong ke Barat.
September kemarin aku bersama kawan-kawan sefakultas juga Tim Bandung Creative City Forum sempat mengadakan Festival Kampung Tamansari demi menautkan kembali ingatan ke arah kebahagiaan masa kanak. Oh… Tidakkah ada sesuatu yang membebaskan kita dari kegelisahan selain mimpi masa kanak? Oh…
Tamansari, sebuah kampung yang dulu berdiri gagah, sendiri, kini telah terlunta dan sesekali angkat tangan saat moncong-moncong senapan kebudayaan baru mulai mengepungnya: Pasopati Flyover, Cihampelas Walk, dsb. Jika Tamansari sudah menjadi tawanan, kepada siapa anak-anak akan berlindung? Kepada hujan, jawab angin. Kepada angin, sangkal hujan. Diam, diam kalian semua, bathinku menjerit memecah perdebatan.
Dan akhirnya, berangkat dari kondisi itulah, aku menulis:
Tamansari
sejak
beribu panah terik terlepas dari busur langit,
anak-anak
bianglala berkejaran di padang cahaya
langkahnya
mengudara, terus mengudara
seperti
layang-layang tak takut kehilangan benang
kabut
senja pun lekas beranjak melarikan cemas
anak-anak
bianglala lantas menabur gerimis
pada
deretan atap rumah riuh tak berbayang
pada
pasukan pintu pagar yang merapatkan barisan
julangan
mal, bioskop, hotel, gedung perkantoran
dan
pabrik bertiang zaman menjelma tukang gali kubur
merenggut
ketegaran batang pohon, batu sejarah
dan
gang-gang gelap kini tersangkut di tenggorokan
o,
lampu-lampu dinyalakan kala malam merangkak
bising
deru kendaraan dan gelak mesin canggih
mengancam
ritus sakral tarian hujan di atas tali jemuran
menimbun
irama petikan kecapi dan alunan karinding
selalu,
jembatan kulit aspal selalu bangun dan terjaga
merentangkan
seluruh uratnya, mengoyak luka
maka
anak-anak bianglala kembali melukis impian
di
dinding beku, di lidahku yang masih kelu
Bandung,
2012
*dokumentasi potret oleh Fadil Mf
huhuu kereen. asik yah di itb, di fsrd itenas ga ada acara macam gini
ReplyDelete