Kart's

Daily Notes

Children and Pop Culture

1 comment


Kau tentu pernah mengalami masa kanak. Suatu masa di mana perahu kertasmu tertambat di pulau paling merdeka.

Sungguh aku rindu kembali menjadi percik embun pagi, hanya menetes dari daun, mencecap kerikil dan akar pancang. Bukan lembayung yang sibuk merias wajah senjakala untuk menjadikan dunia sebagai pengantin. Saat aku menjadi embun, segala mimpi yang terbit di mataku tampak mungkin.

Dulu, aku suka sekali bermain: mendirikan rumah-rumahan dari tanah lumpur, memanjat pohon kersen hingga terpeleset jatuh, berenang di sungai yang deras arusnya, menari-nari di bawah rintik hujan atau menyanyikan lagu cingcangkeling sambil menabuh kaleng susu.

Sayangnya, masa-masa menyenangkan itu sudah menggali liang kubur bagi dirinya di pemakaman kenangan. Pop serta segala hal praktis lahir dari cakar-cakar globalisasi, menggores dan mengambil alih budaya masa kini. Entah itu permainan, lagu, film, junk food, tren fesyen, atau bahkan gaya bicara condong ke Barat.

September kemarin aku bersama kawan-kawan sefakultas juga Tim Bandung Creative City Forum sempat mengadakan Festival Kampung Tamansari demi menautkan kembali ingatan ke arah kebahagiaan masa kanak. Oh… Tidakkah ada sesuatu yang membebaskan kita dari kegelisahan selain mimpi masa kanak? Oh…

Tamansari, sebuah kampung yang dulu berdiri gagah, sendiri, kini telah terlunta dan sesekali angkat tangan saat moncong-moncong senapan kebudayaan baru mulai mengepungnya: Pasopati Flyover, Cihampelas Walk, dsb. Jika Tamansari sudah menjadi tawanan, kepada siapa anak-anak akan berlindung? Kepada hujan, jawab angin. Kepada angin, sangkal hujan. Diam, diam kalian semua, bathinku menjerit memecah perdebatan.



Dan akhirnya, berangkat dari kondisi itulah, aku menulis:

Tamansari

sejak beribu panah terik terlepas dari busur langit,
anak-anak bianglala berkejaran di padang cahaya
langkahnya mengudara, terus mengudara
seperti layang-layang tak takut kehilangan benang

kabut senja pun lekas beranjak melarikan cemas
anak-anak bianglala lantas menabur gerimis
pada deretan atap rumah riuh tak berbayang
pada pasukan pintu pagar yang merapatkan barisan

julangan mal, bioskop, hotel, gedung perkantoran
dan pabrik bertiang zaman menjelma tukang gali kubur
merenggut ketegaran batang pohon, batu sejarah
dan gang-gang gelap kini tersangkut di tenggorokan

o, lampu-lampu dinyalakan kala malam merangkak
bising deru kendaraan dan gelak mesin canggih
mengancam ritus sakral tarian hujan di atas tali jemuran
menimbun irama petikan kecapi dan alunan karinding

selalu, jembatan kulit aspal selalu bangun dan terjaga
merentangkan seluruh uratnya, mengoyak luka
maka anak-anak bianglala kembali melukis impian
di dinding beku, di lidahku yang masih kelu

Bandung, 2012

*dokumentasi potret oleh Fadil Mf



Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

  1. huhuu kereen. asik yah di itb, di fsrd itenas ga ada acara macam gini

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!