Kart's

Daily Notes

Sampah dan Orang-orang Buangan

5 comments
Sampah dan Orang-orang Buangan
Bau busuk merangkaki jalanan bagai hantu berpatroli yang siap menerkam. Rumputan kering. Pohon-pohon sudah lama tumbang. Tanah mulai ditanami barisan gedung yang pucuknya menggapai langit. Asap pabrik mengepul tebal mengalahkan kabut. Samar-samar menggaung isak tangis dari mulut comberan. Seonggok sampah plastik tersangkut di situ. Sambil berurai air mata, ia terus bertanya-tanya, “Mana rumahku?”
“Kau tersesat, ya?” tanya kecoak yang tiba-tiba trenyuh memandang sampah terombang-ambing tak tentu arah.
“Maukah kau mengantarkan aku ke rumah?”
“Ke negeri tong sampah?”
Sampah mengangguk.
“Kenapa tak kau minta bantuan saja pada orang-orang itu?” tangan kecoak menunjuk sekelompok mahasiswa yang sedang makan siang di kafetaria. “Siapa tahu mereka hafal persis alamat rumahmu.”
“Ah! Sudahlah. Aku muak menyaksikan orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Orang-orang itu lupa diri. Lupa bahwa bumi juga tong sampah. Sejatinya mereka sama seperti kami. Buangan. Terkutuk. Sama-sama kotor. Kami memang pernah dibuang dari genggam tangan manusia. Mereka, para manusia yang kautunjuk itu, pun pernah dibuang dari surga. Kau ingat kisah Adam dan Hawa? Lantas apa yang mereka banggakan? Bisanya hanya menaruh rumus di kepala, tapi kami dikucilkan.”
Kecoak mengernyit. Merasakan denyut dendam yang sebentar lagi meledak.
“Barangkali bedanya mereka punya hati, sedang kami tidak. Sayang sekali hati yang sedemikian canggih itu jarang mereka putar mesinnya. ‘Kepedulian lingkungan’ yang mereka koarkan di mimbar hanyalah omong kosong. Kata-kata yang mereka tampilkan besar di atas papan larangan itu mahasampah, sampah dari segala sampah.”
“Benarkah? Apa yang mesti kulakukan kalau begitu?”
“Kalau toh sehabis makan siang orang-orang tetap membiarkan aku seperti ini: jauh, jauh dari tong sampah, maka sudah saatnya kautendang mereka jauh, jauh ke planet lain. Mengerti?”
Kecoak langsung mengencangkan otot-otot kaki.
Sampah terkikik geli. Bodoh! Mana mungkin seekor kecoak mungil bisa menendang manusia? Sesaat kemudian ia kembali dirajam nestapa. Hanya kepada tong sampah, ia mendamba. Hanya kepada tong sampah. Namun entah mengapa orang-orang malah melemparkannya ke semak, ke sungai, ke jalanan macet ibu kota, pun ke semua tempat yang nyaris serupa neraka.
Hujan tumpah sore itu. Sampah-sampah menyambutnya dengan meriah. Air comberan perlahan pasang hingga jalanan menggenang. Bau busuk semakin menampar hidung siapa saja. Banjir datang menawarkan tumpangan. Banjir menjadi kendaraan besar bagi para sampah untuk berbondong-bondong melakukan aksi demonstrasi di depan gerbang istana: menagih butiran janji calon pemimpin yang masih berserak di spanduk-spanduk, tayangan iklan televisi, dan headline surat kabar sejak musim kampanye.
Sambil berurai air mata, ia, sampah yang menyelinap di antara arak-arakan sampah, terus menggulirkan tanya, “Mana rumahku? Mana rumahku? Mana rumahku?”

Bandung, 2012

*flashfict ini akan diterbitkan di majalah Green Ganesha
*gambar diambil dari sini
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

5 comments:

  1. keren!
    Salam knal mbak dr org tegalbuleud...
    Kalau ada waktu, silahkan jalan2 kesini : )
    http://www.kompasiana.com/alonkbadriansyah
    Terimakasih

    ReplyDelete
  2. duh, maaf mbak komen pertama saya gak sengaja pake profile anonymous. Salah pencet keypad hp! Hehee.. (padahal saya yg gaptek)
    Silahkan hapus saja komen saya yg pertama itu mbak, saya jadi tidak enak pake profile anonymous..

    Salam dan terus berkreasi dalam puisi!

    ReplyDelete
  3. Salam dan terus berkarya maksudnya! : )
    Masa flashfict saya bilang puisi? Hehee..

    ReplyDelete
  4. salam kenal juga, ya terima kasih buat share-nya ya

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!