Sampah
dan Orang-orang Buangan
Bau busuk merangkaki jalanan bagai hantu
berpatroli yang siap menerkam. Rumputan kering. Pohon-pohon sudah lama tumbang.
Tanah mulai ditanami barisan gedung yang pucuknya menggapai langit. Asap pabrik
mengepul tebal mengalahkan kabut. Samar-samar menggaung isak tangis dari mulut comberan.
Seonggok sampah plastik tersangkut di situ. Sambil berurai air mata, ia terus bertanya-tanya,
“Mana rumahku?”
“Kau tersesat, ya?” tanya kecoak yang
tiba-tiba trenyuh memandang sampah terombang-ambing tak tentu arah.
“Maukah kau mengantarkan aku ke rumah?”
“Ke negeri tong sampah?”
Sampah mengangguk.
“Kenapa tak kau minta bantuan saja pada orang-orang
itu?” tangan kecoak menunjuk sekelompok mahasiswa yang sedang makan siang di kafetaria.
“Siapa tahu mereka hafal persis alamat rumahmu.”
“Ah! Sudahlah. Aku muak menyaksikan
orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Orang-orang itu lupa diri. Lupa bahwa bumi
juga tong sampah. Sejatinya mereka sama seperti kami. Buangan. Terkutuk. Sama-sama
kotor. Kami memang pernah dibuang dari genggam tangan manusia. Mereka, para
manusia yang kautunjuk itu, pun pernah dibuang dari surga. Kau ingat kisah Adam
dan Hawa? Lantas apa yang mereka banggakan? Bisanya hanya menaruh rumus di
kepala, tapi kami dikucilkan.”
Kecoak mengernyit. Merasakan denyut
dendam yang sebentar lagi meledak.
“Barangkali bedanya mereka punya hati,
sedang kami tidak. Sayang sekali hati yang sedemikian canggih itu jarang mereka
putar mesinnya. ‘Kepedulian lingkungan’ yang mereka koarkan di mimbar hanyalah omong
kosong. Kata-kata yang mereka tampilkan besar di atas papan larangan itu mahasampah,
sampah dari segala sampah.”
“Benarkah? Apa yang mesti kulakukan
kalau begitu?”
“Kalau toh sehabis makan siang orang-orang
tetap membiarkan aku seperti ini: jauh, jauh dari tong sampah, maka sudah
saatnya kautendang mereka jauh, jauh ke planet lain. Mengerti?”
Kecoak langsung mengencangkan otot-otot
kaki.
Sampah terkikik geli. Bodoh! Mana mungkin seekor kecoak mungil
bisa menendang manusia? Sesaat kemudian ia kembali dirajam nestapa. Hanya kepada
tong sampah, ia mendamba. Hanya kepada tong sampah. Namun entah mengapa orang-orang
malah melemparkannya ke semak, ke sungai, ke jalanan macet ibu kota, pun ke semua
tempat yang nyaris serupa neraka.
Hujan tumpah sore itu. Sampah-sampah
menyambutnya dengan meriah. Air comberan perlahan pasang hingga jalanan
menggenang. Bau busuk semakin menampar hidung siapa saja. Banjir datang menawarkan
tumpangan. Banjir menjadi kendaraan besar bagi para sampah untuk
berbondong-bondong melakukan aksi demonstrasi di depan gerbang istana: menagih butiran
janji calon pemimpin yang masih berserak di spanduk-spanduk, tayangan iklan
televisi, dan headline surat kabar sejak
musim kampanye.
Sambil berurai air mata, ia, sampah yang
menyelinap di antara arak-arakan sampah, terus menggulirkan tanya, “Mana
rumahku? Mana rumahku? Mana rumahku?”
Bandung, 2012
*gambar diambil dari sini
asiiik, menarik bgt ini ji
ReplyDeletekeren!
ReplyDeleteSalam knal mbak dr org tegalbuleud...
Kalau ada waktu, silahkan jalan2 kesini : )
http://www.kompasiana.com/alonkbadriansyah
Terimakasih
duh, maaf mbak komen pertama saya gak sengaja pake profile anonymous. Salah pencet keypad hp! Hehee.. (padahal saya yg gaptek)
ReplyDeleteSilahkan hapus saja komen saya yg pertama itu mbak, saya jadi tidak enak pake profile anonymous..
Salam dan terus berkreasi dalam puisi!
Salam dan terus berkarya maksudnya! : )
ReplyDeleteMasa flashfict saya bilang puisi? Hehee..
salam kenal juga, ya terima kasih buat share-nya ya
ReplyDelete