Kart's

Daily Notes

Pesantren Sastra: Puisi dalam Konteks Relijiusitas

5 comments
Setibanya di kota kelahiran tercinta, senang sekali aku diundang Kang Khoer Jurzani untuk ikut Pesantren Sastra dengan para sastrawan Cianjur sebagai santrinya. Ada rasa kangen yang menyesak di dada juga rasa malu karena sudah lama tidak melahirkan karya.

Komunitas Sastra Cianjur (KSC) sejak dulu memang sudah kuanggap sebagai rumah rindu, tempat di mana aku sering mencari jiwaku yang hilang di antara puing-puing kata dan reruntuhan makna.

Senyumku sekuntum mawar merekah saat akhirnya berjumpa kembali dengan Iwan B. Setiawan (seorang ayah yang piawai berenang dan menyelam ke tujuh lapis langit serta bumi), Yusuf Gigan (penyair yang tidak pernah renta dalam berkarya dan selalu membacakan dongeng-dongeng para nabi dengan penuh ketulusan).

Sudah lama aku aku tidak berdiskusi mengenai sastra dengan pemuda-pemudi luar biasa seperti A Rama, A Shandi, Kang Khoer, Fasha, Dewi, Nurmalia, dan sederet nama lainnya yang akan mengguncang dunia dengan gempa imaji. Neidya, Galuh, Lina, ah.. (sayang sekali kita tidak bertemu)

Sambil menunggu waktu berbuka, kami membahas pergulatan seorang penulis dengan proses kreatif dan menerka-nerka jawaban perihal mengapa menempuh jalan sesat seperti menulis. Kegelisahan. Kepuasan. Eksistensi. Imajinasi. Pengetahuan. Dendam. Cinta. Lalu, wahyu. Demikian alasan-alasan itu menggerakkan tangan kami untuk tetap berdansa di ranah kesusastraan.

Dari pertemuan satu hari tersebut, lahirlah puisi bertemakan ibu yang memiliki dentum berbeda-beda (maaf kalau salah sebut): Ibu Aku Gagal Merindukanmu, Hilang, Bayang-bayang Wayang, Ramadhan Masa Kanak, Sepi Adalah Pengantinku yang Abadi, Nasi Goreng, dan Sambal Goang. Sedap sekali.

Buah-buah pelajaran yang kami petik sangatlah patut disimpan dalam keranjang ingatan untuk kami kupas kemudian. Buah-buah itu adalah tentang bagaimana kata-kata bukan hanya bermunculan melainkan juga bercahaya, puisi tidak melulu dipotret dari sudut pandang pribadi, ketelanjangan makna mesti dibalut metafor serta diksi, ketepatan bahasa perlu diperhatikan untuk mengurangi kata-kata yang tak lazim, betapa pun absurdnya sebuah penulisan puisi tak lepas dari logika, dan sebagainya..

Kudengar bahwa hari Selasa tanggal 7 Agustus, KSC akan mengadakan Spektrum Nuzulul Qur’an di Gedung Dewan Kesenian Cianjur yang dalam rencana hadir Syahreza Faisal serta Ardy Cresna Crenata. Tapi memang, itu hanya rencana. Sebab ternyata dua penulis muda paling produktif ini terbentur jadwal skripsi dan setumpuk masalah kuliah lainnya sehingga (terpaksa) tidak ikut serta.

Di luar dugaan, Kang Yusuf menyerahkan aku sebuah kepercayaan untuk menjadi salah satu pembaca puisi (dadakan) di acara tersebut. Kuobrak-abrik semua file puisi relijius yang tercecer di komputer dan akhirnya kupungut “Secawan Cinta untuk Tuhan”, “Zikr Nelayan”, “Malam Seribu Bulan” serta beberapa puisi andalanku. Pilihan kemudian jatuh pada puisi pertama.

Bismillaah.. Diimami moderator paling seksi (Kang Yusuf), aku dan para penyair sungguhan membuat shaf di panggung. Ayah Iwan, Bu Nurhayati, Kang Khoer, A Rama, dan Fasha membaca puisi dengan khusyuk disusul pengaminan para apresiator. Sementara aku masih tidak percaya diri memegang mikrofon seperti seorang muadzin gemetaran saat pertama kali mengumandangkan adzan.


Secawan Cinta untuk Tuhan ibarat sebuah bentuk sembahyang meski memang tidaklah panjang rakaatnya. Tapi sungguh, ini “puisi cinta” yang diam-diam membuatku jatuh cinta. Sebab selain pesona tipografinya yang cantik setelah kudandani susah payah seperti halnya aku melukis dengan sapuan kuas, puisi ini juga merupakan rayuan paling gombal dan hanya kupersembahkan untuk Kekasih Nomor Satu Se-Semesta: Tuhan.

Terus terang aku menunggu momen tepat untuk membacanya di acara-acara penting. Dan, di Spektrum Ramadhan inilah—yang tak kalah spektakulernya dari kontes dangdut di tivi, aku membaca:

Secawan Cinta untuk Tuhan

Tuhan, aku cawan
tengadah meratap sunyi
Tuhan, tolong terus awasi aku
tanpa perlu menuang madu
biar tak ada sesuatu pun
dapat Engkau cecap
dariku, selain:
kekal cinta
Tuhan,
peluk
saja
aku
sampai
pecah berderai
tubuhku di tangan-Mu

Cianjur, 2012

Berikut Puisi Cinta versi Asing yang kucurigai ada cacat di mana-mana. Mohon maaf atas segala kepincangannya. Seperti kata Fasha, “Selamat bermesraan dengan Tuhan.”

A Cup of Love for God

God, I’m a cup
look up and silent wail
God, please take care always
without pour a few honey
there might be nothing
that you could feel
of me, other than
eternal love
God,
just
hug
me
until
broke loose
my body in your hand

Cianjur, 2012

Sedikit khutbah:
Apa bedanya kita dengan sebuah cawan atau gelas atau wadah yang punya mulut lebar? Hanya meminta, meminta, dan meminta. Lalu apa yang kita berikan pada Tuhan? Setumpuk permintaan-kah? Doa? Dosa? Doa agar diberikan kemenangan serta penghapusan dosa? Tidak malukah kita jika terus seperti itu tanpa mau mengetahui bagaimana kita harus membayarnya?

Padahal sejatinya kita tahu bahwa apa pun yang Tuhan berikan itulah yang terbaik untuk kita. Persoalannya sekarang adalah bukan seberapa banyak permintaan kita, melainkan seberapa banyak kita memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Sebab Dialah satu-satunya Penulis Skenario Kehidupan Yang Maha Kreatif.

Meski begitu, Tuhan nyatanya benar-benar mencintai kita—makhluk menjijikan di muka bumi dengan segala ketamakannya. Tuhan telah menciptakan neraka untuk kita takutkan dan surga untuk kita rindukan. Tapi di luar semua itu, hanya kepada Tuhan kita takut dan hanya kepada Tuhan kita rindu.

Kita berhak meminta. Sangat berhak. Sebab pada siapa lagi kita meminta kalau bukan kepada Pemberi. Tapi jangan lupa, saudaraku, Tuhan juga punya permintaan. Tuhan meminta kita untuk beribadah. Itu saja. Tidaklah susah, bukan? Seperti dalam firman-Nya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Lalu, kapan kita menyempatkan waktu untuk beribadah dalam bentuk penyerahan diri lilahita’ala, karena cinta kepada-Nya? Bukan semata-mata karena kita butuh saja. Jangan hanya mengatakan, "Aku beribadah untuk meminta," tapi sekali-kali katakanlah juga, "Aku beribadah karena dipinta (kewajiban) dan aku melakukannya karena cinta."

Demi Tuhan, adalah tugas penyair untuk menyiarkan kebenaran dan kebaikan pada kehidupan seluruh alam. Dan, pada hakikatnya berpuisi sama seperti beribadah. Bahkan Tuhan menyampaikan surat penting kepada para penyair:

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (Q. S. Asy-Syu’ara 224-227)

Barangkali cukup sekian dariku—seseorang yang mencoba membentangkan sajadah keimanan melalui rukuk dan sujud kata. Sodakallahul’adziim..
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

5 comments:

  1. Mantabh puisina... ^^
    Mantabh juga blog na...
    Salam kenal nya tinu nuju diajar di pakidulan.

    ReplyDelete
  2. ditunggu postingan menarik berikutnya yah..

    ReplyDelete
  3. suka puisinya :)
    izin posting di blogku ya

    ReplyDelete
  4. puisi yg bagus!

    Salam dan terus berkreasi dalam puisi!

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!