Setibanya di kota kelahiran tercinta, senang sekali aku diundang Kang
Khoer Jurzani untuk ikut Pesantren Sastra dengan para sastrawan Cianjur sebagai
santrinya. Ada rasa kangen yang menyesak di dada juga rasa malu karena sudah
lama tidak melahirkan karya.
Komunitas Sastra Cianjur (KSC) sejak dulu memang sudah kuanggap sebagai rumah
rindu, tempat di mana aku sering mencari jiwaku yang hilang di antara
puing-puing kata dan reruntuhan makna.
Senyumku sekuntum mawar merekah saat akhirnya berjumpa kembali dengan
Iwan B. Setiawan (seorang ayah yang piawai berenang dan menyelam ke tujuh lapis
langit serta bumi), Yusuf Gigan (penyair yang tidak pernah renta dalam berkarya
dan selalu membacakan dongeng-dongeng para nabi dengan penuh ketulusan).
Sudah lama aku aku tidak berdiskusi mengenai sastra dengan pemuda-pemudi
luar biasa seperti A Rama, A Shandi, Kang Khoer, Fasha, Dewi, Nurmalia, dan
sederet nama lainnya yang akan mengguncang dunia dengan gempa imaji. Neidya,
Galuh, Lina, ah.. (sayang sekali kita tidak bertemu)
Sambil menunggu waktu berbuka, kami membahas pergulatan seorang penulis
dengan proses kreatif dan menerka-nerka jawaban perihal mengapa menempuh jalan
sesat seperti menulis. Kegelisahan. Kepuasan. Eksistensi. Imajinasi.
Pengetahuan. Dendam. Cinta. Lalu, wahyu. Demikian alasan-alasan itu menggerakkan
tangan kami untuk tetap berdansa di ranah kesusastraan.
Dari pertemuan satu hari tersebut, lahirlah puisi bertemakan ibu yang
memiliki dentum berbeda-beda (maaf kalau salah sebut): Ibu Aku Gagal Merindukanmu,
Hilang, Bayang-bayang Wayang, Ramadhan Masa Kanak, Sepi Adalah Pengantinku yang
Abadi, Nasi Goreng, dan Sambal Goang. Sedap sekali.
Buah-buah pelajaran yang kami petik sangatlah patut disimpan dalam
keranjang ingatan untuk kami kupas kemudian. Buah-buah itu adalah tentang bagaimana
kata-kata bukan hanya bermunculan melainkan juga bercahaya, puisi tidak melulu
dipotret dari sudut pandang pribadi, ketelanjangan makna mesti dibalut metafor serta
diksi, ketepatan bahasa perlu diperhatikan untuk mengurangi kata-kata yang tak
lazim, betapa pun absurdnya sebuah penulisan puisi tak lepas dari logika, dan
sebagainya..
Kudengar bahwa hari Selasa tanggal 7 Agustus, KSC akan mengadakan Spektrum
Nuzulul Qur’an di Gedung Dewan Kesenian Cianjur yang dalam rencana hadir Syahreza Faisal serta Ardy Cresna
Crenata. Tapi memang, itu hanya rencana. Sebab
ternyata dua penulis muda paling produktif ini terbentur jadwal skripsi dan
setumpuk masalah kuliah lainnya sehingga (terpaksa) tidak ikut serta.
Di luar dugaan, Kang Yusuf menyerahkan aku sebuah kepercayaan untuk menjadi
salah satu pembaca puisi (dadakan) di acara tersebut. Kuobrak-abrik semua file puisi
relijius yang tercecer di komputer dan akhirnya kupungut “Secawan Cinta untuk
Tuhan”, “Zikr Nelayan”, “Malam Seribu Bulan” serta beberapa puisi andalanku. Pilihan kemudian jatuh pada puisi pertama.
Bismillaah.. Diimami moderator paling seksi (Kang Yusuf), aku dan para penyair sungguhan membuat shaf di panggung. Ayah Iwan, Bu Nurhayati, Kang Khoer, A Rama, dan Fasha
membaca puisi dengan khusyuk disusul pengaminan para apresiator. Sementara aku
masih tidak percaya diri memegang mikrofon seperti seorang muadzin gemetaran
saat pertama kali mengumandangkan adzan.
Secawan Cinta untuk Tuhan ibarat sebuah bentuk sembahyang meski memang
tidaklah panjang rakaatnya. Tapi sungguh, ini “puisi cinta” yang diam-diam
membuatku jatuh cinta. Sebab selain pesona tipografinya yang cantik setelah kudandani
susah payah seperti halnya aku melukis dengan sapuan kuas, puisi ini juga
merupakan rayuan paling gombal dan hanya kupersembahkan untuk Kekasih Nomor
Satu Se-Semesta: Tuhan.
Terus terang aku menunggu momen tepat untuk membacanya di acara-acara penting.
Dan, di Spektrum Ramadhan inilah—yang tak kalah spektakulernya dari kontes
dangdut di tivi, aku membaca:
Secawan Cinta
untuk Tuhan
Tuhan,
aku cawan
tengadah
meratap sunyi
Tuhan,
tolong terus awasi aku
tanpa
perlu menuang madu
biar
tak ada sesuatu pun
dapat
Engkau cecap
dariku,
selain:
kekal cinta
Tuhan,
peluk
saja
aku
sampai
pecah berderai
tubuhku di tangan-Mu
Cianjur, 2012
Berikut Puisi Cinta versi Asing yang kucurigai ada
cacat di mana-mana. Mohon maaf atas segala kepincangannya. Seperti kata Fasha,
“Selamat bermesraan dengan Tuhan.”
A Cup of Love for God
God, I’m a cup
look up and silent wail
God, please take care
always
without pour a few honey
there might be nothing
that you could feel
of me, other than
eternal love
God,
just
hug
me
until
broke loose
my body in your hand
Cianjur, 2012
Sedikit khutbah:
Apa bedanya kita dengan sebuah cawan atau gelas atau wadah yang punya mulut lebar? Hanya meminta, meminta, dan meminta. Lalu apa yang kita berikan pada Tuhan? Setumpuk permintaan-kah? Doa? Dosa? Doa agar diberikan kemenangan serta penghapusan dosa? Tidak malukah kita jika terus seperti itu tanpa mau mengetahui bagaimana kita harus membayarnya?
Apa bedanya kita dengan sebuah cawan atau gelas atau wadah yang punya mulut lebar? Hanya meminta, meminta, dan meminta. Lalu apa yang kita berikan pada Tuhan? Setumpuk permintaan-kah? Doa? Dosa? Doa agar diberikan kemenangan serta penghapusan dosa? Tidak malukah kita jika terus seperti itu tanpa mau mengetahui bagaimana kita harus membayarnya?
Padahal sejatinya kita tahu bahwa apa pun yang Tuhan berikan itulah yang
terbaik untuk kita. Persoalannya sekarang adalah bukan seberapa banyak
permintaan kita, melainkan seberapa banyak kita memberikan yang terbaik kepada
Tuhan. Sebab Dialah satu-satunya Penulis Skenario Kehidupan Yang Maha Kreatif.
Meski begitu, Tuhan nyatanya benar-benar mencintai
kita—makhluk menjijikan di muka bumi dengan segala ketamakannya. Tuhan telah menciptakan
neraka untuk kita takutkan dan surga untuk kita rindukan. Tapi di
luar semua itu, hanya kepada Tuhan kita takut dan hanya kepada Tuhan kita rindu.
Kita berhak meminta. Sangat berhak. Sebab pada siapa
lagi kita meminta kalau bukan kepada Pemberi. Tapi jangan lupa, saudaraku,
Tuhan juga punya permintaan. Tuhan meminta kita untuk beribadah. Itu saja. Tidaklah
susah, bukan? Seperti dalam firman-Nya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk beribadah kepada-Ku.”
Lalu, kapan kita menyempatkan
waktu untuk beribadah dalam bentuk penyerahan diri lilahita’ala, karena cinta
kepada-Nya? Bukan semata-mata karena kita butuh saja. Jangan hanya mengatakan, "Aku beribadah
untuk meminta," tapi sekali-kali katakanlah juga, "Aku beribadah karena dipinta (kewajiban) dan aku melakukannya karena cinta."
Demi Tuhan, adalah tugas penyair untuk
menyiarkan kebenaran dan kebaikan pada kehidupan seluruh alam. Dan, pada hakikatnya berpuisi sama seperti beribadah. Bahkan Tuhan menyampaikan
surat penting kepada para penyair:
“Dan
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. kecuali orang-orang
(penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan
mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu
kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (Q. S. Asy-Syu’ara
224-227)
Barangkali cukup sekian dariku—seseorang
yang mencoba membentangkan sajadah keimanan melalui rukuk dan sujud kata. Sodakallahul’adziim..
Mantabh puisina... ^^
ReplyDeleteMantabh juga blog na...
Salam kenal nya tinu nuju diajar di pakidulan.
puisinya kkeren banget..
ReplyDeleteditunggu postingan menarik berikutnya yah..
ReplyDeletesuka puisinya :)
ReplyDeleteizin posting di blogku ya
puisi yg bagus!
ReplyDeleteSalam dan terus berkreasi dalam puisi!