HATI MAHKOTA EMBUN
“Mayaat!
Mayaaat!!”
Langit bergayut koyak, tersayat-sayat
oleh pekikan para pemancing dari tepi sungai.
Betapa mengerikan mayat
itu. Wanita malang. Entah mati kenapa, entah sejak kapan. Di atas riak air yang
mengarak bau amis darah, sekujur tubuhnya mengambang, setengah telanjang,
telentang dengan dada berlubang. Ada yang hilang dari dadanya.
Sungai merah. Ikan-ikan
marah. Orang-orang gempar lalu menutup rapat pintu pagar, pintu rumah, pintu
kamar, hingga pintu hati. Kampung pun dikepung anak panah ketakutan.
“Itu mah ulah dedemit! Jurig kalong wéwé*!” desis Abdul sambil bergidik
mengingat tempo hari ia melirik seekor lelawa terbang ke sawang.
“Dasar jurig tidak punya hati. Bisanya cuma mencuri
sekeping hati,” timpal istrinya.
“Sudah kubilang bahwa
menjelang maghrib wanita tidak boleh pergi kemana-mana.”
Istrinya kemudian mengangguk.
Begitulah dari dulu, orang-orang
kampung mengalungkan tahayul dan kisah leluhur di leher seperti mengawal emas berkarat-karat.
Mereka tak mengira dan mungkin tak akan pernah mengira tentang lelancip mata
belati yang kupakai untuk mencabik-cabik dada wanita, melahap hatinya yang
masih segar dan bening, lalu merasakan denyut yang asing pelan-pelan hanyut ke perut.
Seiring waktu kian
berlalu, belasan perawan berkelejatan—mati di tanganku. Terkadang, jika suatu
saat kenyang, hati yang kurenggut kusimpan dalam toples bekas kue lebaran atau kugantung
sebagai hiasan dinding. Tapi aku tak kunjung menyaksikan sekuntum cinta
menyeruak mekar dari hati mana pun. Hanya letup darah, geliat belatung, dan lelehan
dosa yang menetes-netes.
Mulutku semakin lengket
oleh sisa-sisa hancurnya kepingan hati saat aku pulang ke gubuk. Emak sempat terkaget-kaget
melihat aku sempoyongan, mabuk darah perawan.
“Sudahkah kautemui hati
yang kaucari, Anakku?”
“Hati mana yang berkebun,
menanam benih-benih rasa cinta? Tiada. Tiada. Tiada. Hanya peluh birahi yang
ada,” keluhku kecewa sambil berdiang di haribaan Emak. Memandang keluar jendela,
tampak gerimis berkilap-kilap runcing diterjang badai angin.
Merapat dekapan. Menyingkir
penat dan gelisah. Alangkah teduh ini tubuh. Hangat. Lampu cempor meredup, tapi
sorot mata Emak tetap menyala-nyala seolah bercerita bahwa cinta sebening embun
memang sedang dan akan selamanya berbinar.
“O, hampir saja aku
lupa. Sebenar-benarnya cinta yang harum tepermanai hanya tersemai di sini,”
ujarku lirih sambil menggoyangkan lelancip mata belati, mengukir bayangan hati
di dadanya yang kini kusut seperti batang pohon mahoni.
“Ambillah kalau kau mau!”
“Tidak, Mak. Tidak
perlu kuambil apa pun darimu, dari hatimu. Sebab ternyata aku sudah memilikinya
sejak lama.”
Cianjur, 2012
Sekadar mengenang:
Fiksimini ini adalah 15 nominasi karya terbaik Fs Bumi Pertiwi
yang dibukukan bersama karya para penulis lainnya, se-Indonesia.
salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
ReplyDeletePikiran yang positiv dan tindakan yang positiv akan membawamu pada hasil yang positiv.,.
ditunggu kunjungan baliknya gan .,.
bagus banget ceritanya.. kanibal gitu yah?
ReplyDelete