Kart's

Daily Notes

Hati Mahkota Embun - Edisi Violet

2 comments

HATI MAHKOTA EMBUN


“Mayaat! Mayaaat!!”
Langit bergayut koyak, tersayat-sayat oleh pekikan para pemancing dari tepi sungai.
Betapa mengerikan mayat itu. Wanita malang. Entah mati kenapa, entah sejak kapan. Di atas riak air yang mengarak bau amis darah, sekujur tubuhnya mengambang, setengah telanjang, telentang dengan dada berlubang. Ada yang hilang dari dadanya.
Sungai merah. Ikan-ikan marah. Orang-orang gempar lalu menutup rapat pintu pagar, pintu rumah, pintu kamar, hingga pintu hati. Kampung pun dikepung anak panah ketakutan.
“Itu mah ulah dedemit! Jurig kalong wéwé*!” desis Abdul sambil bergidik mengingat tempo hari ia melirik seekor lelawa terbang ke sawang.
“Dasar jurig tidak punya hati. Bisanya cuma mencuri sekeping hati,” timpal istrinya.
“Sudah kubilang bahwa menjelang maghrib wanita tidak boleh pergi kemana-mana.”
Istrinya kemudian mengangguk.
Begitulah dari dulu, orang-orang kampung mengalungkan tahayul dan kisah leluhur di leher seperti mengawal emas berkarat-karat. Mereka tak mengira dan mungkin tak akan pernah mengira tentang lelancip mata belati yang kupakai untuk mencabik-cabik dada wanita, melahap hatinya yang masih segar dan bening, lalu merasakan denyut yang asing pelan-pelan hanyut ke perut.
Seiring waktu kian berlalu, belasan perawan berkelejatan—mati di tanganku. Terkadang, jika suatu saat kenyang, hati yang kurenggut kusimpan dalam toples bekas kue lebaran atau kugantung sebagai hiasan dinding. Tapi aku tak kunjung menyaksikan sekuntum cinta menyeruak mekar dari hati mana pun. Hanya letup darah, geliat belatung, dan lelehan dosa yang menetes-netes.
Mulutku semakin lengket oleh sisa-sisa hancurnya kepingan hati saat aku pulang ke gubuk. Emak sempat terkaget-kaget melihat aku sempoyongan, mabuk darah perawan.
“Sudahkah kautemui hati yang kaucari, Anakku?”
“Hati mana yang berkebun, menanam benih-benih rasa cinta? Tiada. Tiada. Tiada. Hanya peluh birahi yang ada,” keluhku kecewa sambil berdiang di haribaan Emak. Memandang keluar jendela, tampak gerimis berkilap-kilap runcing diterjang badai angin.
Merapat dekapan. Menyingkir penat dan gelisah. Alangkah teduh ini tubuh. Hangat. Lampu cempor meredup, tapi sorot mata Emak tetap menyala-nyala seolah bercerita bahwa cinta sebening embun memang sedang dan akan selamanya berbinar.
“O, hampir saja aku lupa. Sebenar-benarnya cinta yang harum tepermanai hanya tersemai di sini,” ujarku lirih sambil menggoyangkan lelancip mata belati, mengukir bayangan hati di dadanya yang kini kusut seperti batang pohon mahoni.
“Ambillah kalau kau mau!”
“Tidak, Mak. Tidak perlu kuambil apa pun darimu, dari hatimu. Sebab ternyata aku sudah memilikinya sejak lama.”

Cianjur, 2012
Sekadar mengenang:
Fiksimini ini adalah 15 nominasi karya terbaik Fs Bumi Pertiwi
yang dibukukan bersama karya para penulis lainnya, se-Indonesia.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

2 comments:

  1. salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
    Pikiran yang positiv dan tindakan yang positiv akan membawamu pada hasil yang positiv.,.
    ditunggu kunjungan baliknya gan .,.

    ReplyDelete
  2. bagus banget ceritanya.. kanibal gitu yah?

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!