Sudah lama aku duduk di bawah pohon mahoni musim gugur, menata
pandang bola mataku sekejap demi sekejap, meniti bentangan jalan,
menanti, menanti yang entah. Lalu, aku tengadah. Kulihat sekawanan
merpati terbang beriringan kian tinggi kian mengabur di balik
ranting-ranting bercabang yang nyaris patah, mengepakkan sayap mereka
menyusuri padang alang-alang, melesat gesit ke utara, menerjang-nerjang
udara menuju celah semesta paling rahasia. Udara memang diselubungi
angin kencang, membikin merpati-merpati tak urung berlalu kencang,
sekencang gemuruh dada sepasang remaja tatkala dimabuk asmara.
“Lihat!”
terdengar nada pukau dari jauh. Sontak aku menatap asal suara. Berdua,
pasangan itu menjunjuk-nunjuk biru telanjang langit seraya tertawa.
Kutatap kembali langit yang berkerut-kerut merona seakan ingin membalut
dirinya dengan kain perca. Awan putih, kelabu dan hitam, tak setitik pun
berada di sana—di wajah langit maupun di wajah kanvas.
Sudah
lama terbersit sadar. Betapa rupaku tak seindah rekah bulu merpati, tak
sesuci langit siang ini, tak semenawan gadis idaman yang punya jadwal
pacaran. Tapi aku tak mungkin merasa hidup tanpa mereka, hidup
menuangkan yang sempurna pada sebidang kanvas. Akulah penguasa alam
semestaku, seperti seorang pengarang menguasai tokoh-tokoh karangannya.
Cahaya.
Imaji-imaji. Spektrum warna pelangi. Agaknya ketiga komponen itu akan
bergulungan menjadi sapuan mutakhir. Kugoreskan ujung kuasku, begitu
perlahan, penuh gairah, bagai memasang selengkung bandana di sela-sela
rambut anak kecil. Pikaranku melayang pada entah dengan kuas yang bagai
tertatih. Mendarat ia pada palet berbentuk bulan sabit yang teronggok
nyalang di atas meja. Merah biru sedikit saja putih dicampur sisa-sisa
air liur dari tepi kulit kwaci diisap kuas itu lalu terpancar sebuah
binar batu akik yang anggun. Aku tersenyum, anggun.
Meja
gemetar menggaungkan erangan panjang. Sungguh gempa yang sopan, tiada
lain dan tiada bukan bersumber dari ponselku. Getarannya mengaliri
kepalan dingin tangan ini. Sesaat aku panik, apalagi ketika melihat nama
penelepon di layar. Kuatur tiap hela nafas sebelum mengangkatnya.
Berhasil tenang, aku lalu berucap ‘halo’. Sebuah suara menyahut, membuat
imajinasi tertambat pada sebuah mulut yang sering mendermakan banyak
petuah. Petuah tentang alam misalnya, tentang menjaga pohon tempatku
bernaung kini.
Pohon ini, dulu, saat muda belia usiaku,
tak pernah ia tegak sendiri dan belum rontok sama sekali. Pohon pembawa
serangkaian kejadian lucu, membuatku betah berlama-lama, mengenang,
terus mengenang. Ah, adakah yang patut dikenang selain pertemuan itu?
Aku terkesiap ketika rindu berkeretap di tiap inci kepala. Kukatakan
padanya bahwa sebentar lagi aku selesai. Sebentar lagi. Tapi ia kukuh
ingin menggangguku meski hanya sebentar.
“Apa yang sedang kaulukis?”
Suaranya bersusulan dengan kecipak ikan-ikan dan derum kendaraan
lewat. Yang bertanya di seberang telepon barangkali sedang berdiri di
jembatan penyebrangan, barangkali di seberang pulau. Pikiranku masih
menyebrang tak tentu arah. Ada jeda yang tak sebentar. Baru kutangkap
pertanyaan penuh selidik tadi setelah sekian lama agak tercenung.
“Sebuah penantian,” jawabku gamang sambil menggoyangkan batang kuas.
Setetes cat jatuh lalu rebah di tanah.
"Dari gambarmu, kita lantas tahu kalau jarak tak pernah membikin
retak. Aku dedaunan yang diruntuhkan angin selatan. Lalu, rindu
menggenang di tubuhku serupa embun. Kau mengangkatku bangun dengan
sejuta harapan. Katamu, matahari telah terbit di hadapan."
kunjungan sob ..
ReplyDeletesalam sukses selalu ..:)