Kart's

Daily Notes

Kanvas - Edisi Violet

1 comment
Sudah lama aku duduk di bawah pohon mahoni musim gugur, menata pandang bola mataku sekejap demi sekejap, meniti bentangan jalan, menanti, menanti yang entah. Lalu, aku tengadah. Kulihat sekawanan merpati terbang beriringan kian tinggi kian mengabur di balik ranting-ranting bercabang yang nyaris patah, mengepakkan sayap mereka menyusuri padang alang-alang, melesat gesit ke utara, menerjang-nerjang udara menuju celah semesta paling rahasia. Udara memang diselubungi angin kencang, membikin merpati-merpati tak urung berlalu kencang, sekencang gemuruh dada sepasang remaja tatkala dimabuk asmara.

“Lihat!” terdengar nada pukau dari jauh. Sontak aku menatap asal suara. Berdua, pasangan itu menjunjuk-nunjuk biru telanjang langit seraya tertawa. Kutatap kembali langit yang berkerut-kerut merona seakan ingin membalut dirinya dengan kain perca. Awan putih, kelabu dan hitam, tak setitik pun berada di sana—di wajah langit maupun di wajah kanvas.

Sudah lama terbersit sadar. Betapa rupaku tak seindah rekah bulu merpati, tak sesuci langit siang ini, tak semenawan gadis idaman yang punya jadwal pacaran. Tapi aku tak mungkin merasa hidup tanpa mereka, hidup menuangkan yang sempurna pada sebidang kanvas. Akulah penguasa alam semestaku, seperti seorang pengarang menguasai tokoh-tokoh karangannya.

Cahaya. Imaji-imaji. Spektrum warna pelangi. Agaknya ketiga komponen itu akan bergulungan menjadi sapuan mutakhir. Kugoreskan ujung kuasku, begitu perlahan, penuh gairah, bagai memasang selengkung bandana di sela-sela rambut anak kecil. Pikaranku melayang pada entah dengan kuas yang bagai tertatih. Mendarat ia pada palet berbentuk bulan sabit yang teronggok nyalang di atas meja. Merah biru sedikit saja putih dicampur sisa-sisa air liur dari tepi kulit kwaci diisap kuas itu lalu terpancar sebuah binar batu akik yang anggun. Aku tersenyum, anggun.

Meja gemetar menggaungkan erangan panjang. Sungguh gempa yang sopan, tiada lain dan tiada bukan bersumber dari ponselku. Getarannya mengaliri kepalan dingin tangan ini. Sesaat aku panik, apalagi ketika melihat nama penelepon di layar. Kuatur tiap hela nafas sebelum mengangkatnya. Berhasil tenang, aku lalu berucap ‘halo’. Sebuah suara menyahut, membuat imajinasi tertambat pada sebuah mulut yang sering mendermakan banyak petuah. Petuah tentang alam misalnya, tentang menjaga pohon tempatku bernaung kini.

Pohon ini, dulu, saat muda belia usiaku, tak pernah ia tegak sendiri dan belum rontok sama sekali. Pohon pembawa serangkaian kejadian lucu, membuatku betah berlama-lama, mengenang, terus mengenang. Ah, adakah yang patut dikenang selain pertemuan itu? Aku terkesiap ketika rindu berkeretap di tiap inci kepala. Kukatakan padanya bahwa sebentar lagi aku selesai. Sebentar lagi. Tapi ia kukuh ingin menggangguku meski hanya sebentar.

“Apa yang sedang kaulukis?”


Suaranya bersusulan dengan kecipak ikan-ikan dan derum kendaraan lewat. Yang bertanya di seberang telepon barangkali sedang berdiri di jembatan penyebrangan, barangkali di seberang pulau. Pikiranku masih menyebrang tak tentu arah. Ada jeda yang tak sebentar. Baru kutangkap pertanyaan penuh selidik tadi setelah sekian lama agak tercenung.

“Sebuah penantian,” jawabku gamang sambil menggoyangkan batang kuas.

Setetes cat jatuh lalu rebah di tanah.


"Dari gambarmu, kita lantas tahu kalau jarak tak pernah membikin retak. Aku dedaunan yang diruntuhkan angin selatan. Lalu, rindu menggenang di tubuhku serupa embun. Kau mengangkatku bangun dengan sejuta harapan. Katamu, matahari telah terbit di hadapan."
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment:

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!