Bagaimana ujianmu hari ini, Dik? Lancar? Maaf, Kakak baru berkabar. Kakak juga sedang berdebar menempuh sidang skripsi. Berharap semuanya segera berakhir tetapi ujian sampai kapan pun tidak akan pernah berakhir, bukan? Ujian akhir itu omong kosong. Kita selalu diuji.
Ada sedikit kekhawatiran kalau kau akan ngotot mempertahankan kejujuran di situasi sulit. Padahal, sepengalaman Kakak, orang-orang jujur justru lebih banyak menjemput kekecewaan, misalnya gagal lulus ujian dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Parahnya lagi, jika kejujuran itu dipertahankan sampai mati, ada yang di-PHK oleh bos perusahaan tempat bekerja, terjebak di penjara karena membongkar kasus korupsi dan prostitusi. Ini serius.
Kejujuran merupakan resep menuju jalan berliku lagi sukar. Sebagai Kakak yang baik, tentu yang kuinginkan adalah kau, adikku, lulus Ujian Nasional dengan mulus. Memang keluarga kita bukan termasuk orang-orang yang peduli amat terhadap pendidikan. Sebab justru mereka yang terdidik di rumah malah melupakan kampung halamannya dan betah mengumpulkan kolega di kota. Syukurlah kau bandel, Dik. Tempuhlah pendidikan sebagaimana anak-anak bandel lainnya bersekolah, dapat ijazah, pasangan, jabatan, hingga modal bisnis untuk menipu banyak orang. Jadilah anak yang bandel asal jangan terkutuk.
Tiba-tiba saja ingatan Kakak terlempar pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Sebuah pesan misterius sampai ke ponsel Kakak, sederet kunci jawaban. Tapi segera Kakak hapus. Pesan itu putus di tangan Kakak. Harapan si pengirim adalah pesan itu menjadi virus: menular. Kakak tidak tahu bedanya antara menjadi pahlawan atau penyakit. Dengan sombong Kakak katakan bahwa Kakak bisa mengerjakan soal tanpa bantuan siapa pun. Di hari Senin, dalam pidatonya, Kepala Sekolah memberikan instruksi kepada semua elemen untuk berhati-hati terhadap praktik kebocoran. Semua peserta upacara sontak menyembunyikan tawa. Maksud Kepala Sekolah adalah berhati-hati agar serangan fajar jangan sampai ketahuan. Jangan sampai bocor. Semua mengerti.
Saat itu tangan kanan Kakak patah, sehari sebelumnya memang kecelakaan motor. Sudah kamu saksikan bagaimana Kakak memangku tangan sendiri ke sekolah di hari yang genting sekali itu. Ada banyak polisi di luar kelas, ketat mengawasi. Pesan misterius datang lagi. Kali ini dari pengawas. Tidak tahu diri kalau Kakak tidak mau menerima sesobek pesan itu sedangkan saat itu untuk menulis pun Kakak tidak sanggup. Karena kebetulan menjadi murid andalan di kelas itu, tentu Kakak bisa membandingkan mana jawaban salah dan harus dibantah, mana jawaban benar dan menjadi petunjuk, dan tidak lupa memberi tahu teman sebelah untuk memilih jawaban yang sama. Bukankah berjamaah dalam dosa lebih baik?
Sesobek pesan itu menjadi sebuah kitab suci. Hanya pembuktian, hanya pembuktian, dalih Kakak. Sambil mengulang ‘jampi-jampi harupat’ tersebut, Kakak menengok ke belakang dan menangkap polah para penghuni kelas. Ada yang mengendap-endap di bawah meja untuk mencari penghapus dengan jurus pengelabuan super. Ada juga yang berdesis-desis sambil mengedikkan bangku atau bahu. Bagi kami, lirikan mata adalah isyarat, lambaian tangan dan gerakan jemari sesama adalah suara Tuhan. Kakak hampir memekik melihat monster di mana-mana dalam rupa yang tidak jauh berbeda. Bahkan Kakak melihat monster itu merasuk ke dalam diri Kakak.
Bagaimana kisah di sekolahmu, Adikku? Apakah sama menakutkannya atau justru lebih lucu? Kabarnya ujian kini sudah berbasis komputer, ya? Wah. Keren sekali. Bisakah kau membaca soal sambil mengetikkan kata kunci ‘teknik mencontek paling populer se-dunia’ di internet? Kakak tidak tahu seberapa ketat pengawasmu. Juga tidak semua pengawas sama baiknya dengan pengawas Kakak dulu. Komputer sekolah, robot intolerir itu, tidak mungkin memberikan waktu tambahan.
Teman Kakak hari ini mendapat telepon dari mamanya ketika duduk di ruang tamu. Dia sudah pascasarjana. Agak kaget Kakak melihat dia yang tiba-tiba panik meminjam alat tulis. Dia dimintai bantuan oleh mamanya untuk menyelesaikan soal Fisika. Berkutat dengan kertas-kertas, membolak-balik buku saku berisi rumus-rumus, memasang muka yang kusut dan alis berkerut seolah-olah ekspresi itu menunjukkan poster pengumuman bertuliskan, “Jangan berisik. Sedang Ada Ujian.” Seisi rumah kontrakan lalu mengecilkan volume televisi. Dia sedang tidak ingin diganggu selama beberapa jam untuk menyelesaikan soal adiknya. Ternyata mamanya adalah seorang guru merangkap pengawas. Kubayangkan tadi pagi pengawas itu sedang pura-pura berkeliling kelas padahal memberi kode setelah sebelumnya mengajarkan kisi-kisi alias soal yang sama persis.
Begitu selesai teman Kakak dengan misinya menolong sang adik, Kakak menemukan banyak sekali istilah asing di bekas coretan yang dia gunakan: humadity, asumsi laju alir keluar, slope, flowrate, tout, browdown, air yang hilang tidak terevaporasi, serta berbagai grafik kalang kabut. Kakak menggetok-getok kepala sendiri. Payah! Apakah hal ini pernah kupelajari sebelumnya? Apakah ini? Apakah itu? Mungkinkah karena dulu ujian pun mencontek maka semua pelajaran yang Kakak dapat itu fiktif belaka? Ataukah karena sekarang kuliah di Seni Rupa isi otak Kakak tentang segala aspek zat dan energi dalam sederetan formula menguap menjadi seember cat dan teori warna? Atau jangan-jangan memang ujian berskala nasional itu semakin tahun semakin sulit. Jangan-jangan yang membuat soalnya adalah seorang profesor botak kurang kerjaan.
Tapi kita patut berterimakasih, Dik. Kita patut berterimakasih kepada Bapak Menteri yang merancang proyek besar bernama Ujian Nasional serta berbagai hal yang mengitarinya. Kabar baiknya tes sialan ini bukan satu-satunya penentu kelulusan sekarang. Kabar buruknya soal ujian dipersulit lagi. Sebab bukan ujian namanya kalau gampang, kan? Sulitnya soal-soal ujian begini toh bisa menjadi alasan bagus untuk mencari kemudahan: mencontek. Aha!
Bukan. Itu bukan kecurangan apalagi tindakan kriminal kok. Mencontek itu sebagian dari iman. Taat kepada negara. Ya, supaya kita jadi bangsa yang dinilai pintar oleh bangsa yang lain dengan memamerkan angka kelulusan seratus persen. Kita harus terus melestarikan “Seni Mengintip Jawaban” supaya sah menjadi budaya kita sebelum diklaim bangsa lain. Adikku, zaman sudah semakin canggih. Semua serba cepat dan instan. Pun begitu arus informasi penularan kode ABCD. Sekali cekrek. Jadi kita tidak perlu banyak berpikir. Bahkan usahakan jangan sampai berpikir. Berpikir itu menghabiskan waktu. Kegiatan mencontek-lah yang menjadi pesawat pengantar bagi kita, orang-orang modern pascasejarah.
Sudah kukatakan, mencontek, seperti juga keindahan, merupakan sebagian dari iman. Lalu kenapa ada polisi dan wartawan? Polisi mah kepingin nyari pangkat saja, Dik, dengan menjadi petugas lalu lintas di sekolah. Lihat saja. Mereka paling-paling jadi Patung Selamat Datang di koridor. Adanya wartawan juga bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Mereka paling-paling memberitakan bahwa ada soal cacat alias salah cetak atau ada siswa nyasar alias salah masuk ruangan. Jika pun ada kasus yang berat, paling-paling disogok Badan Pengamanan Sekolah toh supaya bungkam?
0 comments:
Post a Comment
Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!