Kart's

Daily Notes

Literasi dalam Perspektif Kita

Leave a Comment

Aku tidak akan mengawali catatan ini seperti membuka mata kuliah oleh dosen yang kelewat mikir. Lagipula tidak baik terlalu berpikir tanpa beraksi, bukan?

Agaknya kita semua sepakat bahawa kita sudah dipermainkan bahasa. Pernah suatu kali marak status Tere Liye yang sebenarnya tidak membuatku heran sama sekali lalu paham-paham isme mulai dikemukakan-dijabarkan panjang lebar kali tinggi oleh orang-orang yang paham, sok paham, dan yang jungkir balik berusaha paham buat bisa dikatakan update. Dapat kupahami bahwa bahasa sangat besar pengaruhnya dalam dunia komunikasi. Dan untuk memperkaya bahasa tiada jalan selain membaca.

“Membaca? Kuper sekali!” katamu sengit sambil masih saja stalkingin status facebooknya mantan.

Ah. Kita tidak pernah lagi menyentuh buku-buku kecuali sebelum ujian kelulusan. Kalau kata Taufik Ismail, bangsa Indonesia adalah “Generasi Nol Buku”. Ketika generasi ini muncul ke permukaan bukan berarti toko buku bisa bangkrut loh. Rak buku penuh oleh buku-buku hasil olahan dari dunia maya seperti kumpulan twit, quotes, adaptasi blog. Selain itu tentu yang jadi best-seller adalah buku-buku dari para penulis yang mampu mengumpulkan fans banyak di sosial media. Mungkin memang peradaban sudah beralih ke dunia digital. Ya, meskipun seringkali tulisan-tulisan yang santer menjadi hits adalah yang punya daya jebak di judul.

Aku bersyukur dengan adanya orang-orang seperti Tere Liye. Aku bukan pengagumnya tapi aku sangat mencintai para penulis populer. Bagaimana tidak? Bohong kalau kau ujug-ujug membaca das Capital, Tetrologi Buru, dan seterusnya, tanpa pernah sebelumnya menyukai bacaan-bacaan yang bisa dikatakan ringan. Nah para penulis populer inilah yang mengantarkan kita untuk bisa mengenal susastra. Kadar hiburannya mungkin lebih banyak.

Dan dengan huru-hara kemarin sampai kini anekdot teaser Ada Apa dengan Cinta, aku rasa inilah titik balik bagaimana masyarakat Indonesia bisa punya kuriositas yang lebih terhadap ilmu pengetahuan yang ditawarkan buku, terutama buku-buku sastra. Dan dari sanalah mungkin kita bisa memperluas sedikit demi sedikit sudut pandang kita terhadap bahasa.

“Apa kabarmu?” tanya kawanku suatu waktu.

“Seperti biasanya. Gelisah.”

“Menyedihkan.”

Seorang kakek yang gemar membaca menanyakan hal yang sama dan aku menjawab sama pula, “Gelisah.”

Dia hanya tersenyum dan mengatakan, “Rawatlah kegelisahan itu!”


Lucu sekali ketika aku dilarang seseorang untuk gelisah. Harus tentram seperti batu nisan di atas makam. Padahal gelisah yang aku maksud adalah gelisah terhadap persoalan umat manusia, ini lebay, tapi aku betul-betul pernah memikirkannya. Dan tanpa penjabaran, seakan bahasa bisa ditangkap beragam rupa oleh orang lain yang berbeda. Maka memang bahasa punya kemesteriusan tersendiri tergantung bagaimana intensitas retina seseorang dalam menelanjangi tiap kata yang tercetak di buku.

Kita seringkali terjebak dalam perspektif yang sempit. Misalnya soal kata amatir dan profesional. Seorang penyair pernah menyinggungnya dalam sebuah buku kumpulan esai. Amatir, berasal dari kata amore, artinya cinta. Orang yang amatir melakukan pekerjaannya karena cinta. Sedangkan profesional berasal dari kata profesi artinya bidang pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu untuk mendapatkan upah. Seorang sopir angkot dan seorang direktur perusahaan bisa sama-sama profesional. Seorang penulis puisi pun, kalau ia dapat honor, bisa jadi profesional. Sebaliknya kalau ia hanya senang menulis dan menulis, dia merdeka dalam keamatirannya.

Sebuah kata, meminjam istilah Cak Koe Sam, tidak pernah absolut, selalu ada padanannya. Kecuali Soetardji, tidak ada yang mampu memisahkan kata dari makna. Atau jangan-jangan Tardji melihat fenomena itu. Bahwa terlalu banyak makna dari sebuah kata maka ia hapus saja makna-makna itu dan ia mainkan semaunya semuanya. Kalau Soetardjo, selain mencari cinta juga mencari makna dari cinta itu sendiri. Jangan-jangan memang kebenaran tidak pernah ada. Hanya ada approach to the truth tapi tidak pernah mencapai batasnya.

Kita tahu Muhammad mendapatkan wahyu. Lalu wahyu itu apa? Wahyu itu adalah bagian dari imajinasi. Hanya saja itu sebutan untuk nabi. Kita juga bisa mendapatkan imajinasi, namanya ilham yang diberikan malalikat mulhim, bukan jibril. Lalu imajinasi itu apa? Berdasarkan kesepakatan banyak pemikir, imajinasi adalah suatu gambaran (citra) yang dihasilkan oleh otak seseorang. Tentu pengertian ini belum absolut. Tidak akan pernah ada pesawat terbang tanpa imajinasi manusia melihat fenomena burung. Mereka butuh perenungan, kesendirian, membaca dan menulis dalam kepalanya. Luar biasa, bukan? Tanpa kekuatan imajinasi mungkin sampai sekarang ibadah haji pakai unta!



Ini hanya urusan bahasa. Kemarin monolog Tan Malaka nyaris dibatalkan karena ada orang-orang yang tidak peka terhadap urusan bahasa. Beda mungkin jika monolog tersebut diberi judul Ceramah Sutan Ibrahim. Mungkin orang-orang yang gandrung memakai gamis tersebut berbondong-bondong memasuki pintu pertunjukan. Kata "hijrah" misalnya, akan sangat diantisipasi orang-orang gaul. Padahal kata "hijrah" sama artinya dengan "move on", berpindah, berubah haluan ke arah yang lebih baik.

Jika tidak melihat terminologinya, kata "sinis" saja bisa jadi ajakan ribut bagi sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Dan bagi penikmat bacaan kalimat demikian tidak susah didefinisikan. Dengan angle prismatik, kemungkinan maknanya tidak terhingga. Sinis adalah mazhab filsafat Yunani. Tentu pengertian ini pun tidak akan pernah absolut. Dalam sejarahnya, Diogenes dari Sinope, yang tinggal di dalam sebuah tong, suatu ketika sedang berjemur dan dihampiri Alexander Agung. Raja yang makmur itu bertanya tentang apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan untuknya. Tapi Diogenes hanya mengatakan, “Menyingkirlah dari cahayaku!” Atau ketika ia ditanya, “Dari mana?” Diogenes tidak menyebutkan satu nama daerah pun melainkan hanya mengatakan, “Aku warga alam semesta!”

Kesalahpahaman muncul ketika kita tidak mampu memasturbasikan bahasa dengan jalan literasi. Kosa kata “sinis” sebetulnya mengandung kebijaksanaan, kecukupan, kemandirian, dan hidup tanpa nafsu. Aku menemukan kesinisan yang keren di sudut Sunken Court (sebuah tempat berkumpul orang-orang gelisah, berasal dari berbagai lini dan tanpa akta kelahiran menyebut dirinya Aliansi Kebangkitan) yang mereka semua tidak punya nafsu (kecuali mungkin sedikit saja) untuk mencapai kesenangan seperti masyarakat ideal. Nafsunya yang paling kentara hanya dua: berpikir dan beraksi. Dengan kata lain mereka membaca dengan bertukar pikiran maupun menyerap isi buku dan untuk memperpanjang umurnya mereka menulis.

Berikut ini perkataan Crates Cynic yang mewakili kesinisan yang agung:

Ada sebuah kota, Knapsach, di tengah-tengah lautan ilusi
Adil dan makmur, dikelilingi oleh lumpur, tidak memiliki apa-apa
Di dalamnya tak ada parasit bodoh
Pun tak ada si rakus yang senang dalam pantat pelacur
Tetapi kota ini menghasilkan tanaman pengharum makanan, bawang, ara, dan roti
Karena itu mereka tidak saling berkelahi satu sama lain demi barang-barang ini
Pun tak mengangkat senjata demi uang, atau demi kejayaan…
Bebas dari perbudakan dan penyiksaan
Mereka mencintai persahabatan abadi dan kebebasan

Omong kosong memang semua yang aku katakan pada kebanyakan orang tentang sastra. Tidak pernah puas kujabarkan karena akan selalu berakhir panjang, berbelit-belit seperti birokrasi dan sulit dimengerti. Kalau agama adalah candu bagi orang-orang yang mencari jalan lurus dan terang dengan mudahnya, bagiku sastra adalah labirin yang membuat seseorang bahagia dalam kegelapan. Bergerak di bidang literasi akan membuatmu mencintai proses. Agama bisa jadi membuat umat manusia mengklaim dirinya benar dan menilai yang lain perlu dibetulkan alias rusak, sedangkan sastra adalah gempa yang meruntuhkannya lalu menyusunnya kembali.

Tidak perlu dipaksakan untuk semua orang membaca dan menulis. Semua punya jalan hidup masing-masing. Tapi ketahuilah bahwa muka bumi ini terlalu luas untuk dijelajahi, juga partikel-partikel dalam tubuh kita terlalu indah untuk dibiarkan hancur. Penjelajahan yang baik ada kalanya melalui buku sebab kita tidak perlu berlelah-lelah menyiapkan perbekalan, memanjat tebing, menghabiskan ongkos untuk menjadi seorang pengembara alam semesta. Dan kabar gembiranya, sosokmu bisa diam-diam menyusup ke dalam kata-kata, ke dalam gagasan yang kamu tuliskan atas nama kebaikan. Kau akan mencetak sejarahmu sendiri. Kecuali kalau kau bergerak ada orang yang dengan senang hati menuliskan sejarahmu. Itu lain soal. Sedangkan kita tahu semua orang dipaksa untuk mengingat sejarah. Dan jika sudah mencetak sejarah, semua orang juga akan dipaksa untuk mengingatmu, mengingat gagasanmu. Dan kau akan abadi!

Aku sempat pesimis bahwa sastra sampai kapan pun tidak akan maujud di kampus ini. Bahkan aku sempat mencuri dengar dari seorang senior bahwa mahasiswa  yang kelewat cinta dengan sastra malah melarikan diri ke kampus lain atau menjadi penggerak komunitas di luar. Tapi ternyata itu hanya prasangka. Banyak kok warga kampus ITB yang sering membaca diam-diam di pojokan, tersesat dalam bukunya sendiri. Banyak juga yang punya gagasan dahsyat untuk dituangkan. Mereka hanya terlalu takut untuk mengakui bahwa alat yang mereka pakai selama ini hmm, sastra. Kenapa ya, kok takut? Padahal sastra kan bukan teroris. Apakah mungkin takut disangka lebay, alay, gila, gombal, njelimet? Atau terlalu takut mendefinisikan bahwa sebenarnya sastra itu sendiri luas dan tidak terbatas dan pencarian terhadap batas itu akan sangat melelahkan.

Sastra bisa jadi kata yang sangat tabu. Sangat. Apalagi mengatasnamakan itu pada orang yang betul-betul ahli dalam linguistik atau pernah dinobatkan sebagai tokoh sastra oleh negara. Pasti mereka tertawa jika ada orang yang tiba-tiba mengaku sastrawan. Bisa jadi tawa yang sinis. Padanan kata sastra yang paling renyah di telinga ya literasi. Setidaknya itu membuat masyarakat ideal di mata Diogenes penasaran dan mengira-ngira bahasa serapan tersebut dan memaknai sendiri dengan terlebih dulu menyingkirkan rasa takut. Berpestalah. Berbahagialah. Sebutlah kita semaumu: mau dengan kata sastrawan, penulis, pengarang, novelis, cerpenis, jurnalis, esais, pemikir, filsuf, filosof, sufi, penyair, pujangga, puisioner, dan apa pun itu sebutannya yang nyaman di hatimu.

#pestaliterasi2016 http://pestaliterasi.com
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!