Kart's

Daily Notes

Suara Seorang Penyusup MBWG ITB yang Goes to GPMB 2015

Leave a Comment

 Hari pertama di Istora Senayan

Jujur, suaraku fals banget. Aku pernah fobia sama microphone. Aku juga bukan juara baca puisi. Aku cuma bermodal nekat untuk memperluas radius sastra, minimal di kampusku. Aku bukan orang yang konsumtif, bukan orang yang cuma menulis untuk dibaca lalu mendapat apresiasi. Aku ingin mengapresiasi karya sendiri dan kadang-kadang orang lain dengan membacakannya, membangun kecintaan pada dunia literasi. Dari situlah aku sok-sokan baca puisi dan akhirnya (lumayan) sering ditawari tampil. Ya aku sanggupin semua meskipun penontonnya cuma satu atau dua orang (ini tampil atau komat mau solat?). Soal totalitas, aku tidak pernah khawatir tentang penampilanku (baik mapun buruk) sebab proses yang panjang adalah jam terbang dan hasil adalah kado terindah dari Tuhan. Kalau jelek, berarti teguran terhadap kesombonganku. Kalau bagus, berarti ujian supaya jangan sombong.


Ada yang bilang aku ngartis. Ya, mungkin saja aku artist. Artist of words: seniman kata-kata (ini sih ketinggian) alias tukang baca, juru makna. Ingin kusampaikan jika ada orang yang senekat ini mengatasnamakan sastra, ingin kudelegasikan orang itu. Aku berharap adik-adikku berani mengambil langkah begini suatu saat: Berani Bersuara. Aku percaya sastra punya peran penting dalam hal apa pun. Konsep. Naskah. Komunikasi. Pesan, dan lain sebagainya. Bahasa adalah busana pikiran bagi setiap manusia yang tidak sekadar hidup (sebab kambing bisu pun hidup). Kata-kata adalah senjata bagi setiap manusia yang juga ingin berperang menghidupi hidup. 


Aku denger di Basement CC Barat waktu itu, Rilis (penulis puisi “Buku Putih 1978” yang juga kawanku di Lingkar Sastra) dan Fio (Ketua “Goes to GPMB 2015”) bercakap-cakap tentang penentuan siapa yang bakal baca puisi. Tepat di belakang mereka, aku cuma bisa senyum-senyum sendiri mendengar namaku disebut berkali-kali. Beberapa hari selanjutnya aku pura-pura kaget dipanggil. Stay culun saja. Aku mengangguk siap meskipun dalam hati berdebar juga membayangkan orang-orang seajaib apa yang akan kuhadapi nanti. Terlebih karena rasa penasaran terhadap grup MBWG yang dipandang masa kampus sebagai barisan yang hobi lembur, ketat dan disiplin.


Aku jatuh cinta dengan puisi Rilis. Begitu liris. Awal latihan timingku asal-asalan. Ngeri sekali menyadari kalau satu detik amat sangat berharga untuk sebuah melodi. Satu kata pun amat sangat diperhitungkan untuk meniti tangga nada. Lewat satu sampai dua detik, otomatis aku harus mengulangnya, lagi dan lagi. Oh aku lupa bilang kalau aku trauma juga dengan musik semenjak SD. Aku sempat ditertawakan saat diminta menyanyikan Ibu Kita Kartini diiringi gitar. Sampai sekarang koleksi lagu di ponsel hanyalah ringtone alarm. Tapi dengan mulai bergabungnya aku dengan MBWG sebagai tamu undangan, aku bertekad untuk mulai menghapus masa kelam itu dengan punya sahabat baru selain sastra. To play music. To play jokes.


Di Disjas Cimahi, sumpah aku awkward banget menunggu running satu paket. Aku melihat pelatih-pelatih wajahnya serem semua dengan senyum tipis memesona. Mereka rata-rata lebih peka terhadap pemain inti dan permainan utama daripada aksesoris seperti aku, huhuhu. Tapi diam-diam aku banyak belajar intonasi ketegasan dari mereka (oh, aku kangen Kak Kuntet). Beruntung ada Rilis yang bisa mencairkan kebekuanku juga Fio yang sering mengecek posisiku meskipun lagi sibuk-sibuknya (maafkan tiba-tiba curhat). Aku belajar berteriak atau meratap. Meskipun gagal dan suaraku pecah, aku selalu dikejutkan oleh keyakinan besar dari penulis puisi ini.


Di hari-hari menjelang keberangkatan ke Jakarta, aku mendapat briefing dari Sang Ketua tentang spek dan peraturan main. Aku tidak sukses mencerna dengan baik daftarnya karena terlalu panjang buatku yang setiap hari cuma bawa laptop, handphone, dan charger (style anak dekave banget ceritanya). Aku meyakinkan diri untuk berpisah selama sepekan masa karantina dengan semua perangkat komunikasi itu. Satu hal yang terlambat kusadari bahwa aku harus mengorbankan beberapa tugas mata kuliah. Risau, aku menelan ludah. Lagipula aku tidak suka menelan ingus. Aku harus menelan rasa pahit campur manis dadah-dadahan sebentar dengan pikiran kusut tentang tugas akhir. Dan lagipula ini tidak seberapa dengan pengorbanan para pemain Waditra Ganesha yang super kece dan kelak kukenang selamanya.


Satu hari di Pusennif, aku mulai berkenalan dengan orang-orang ini: orang-orang aneh yang sengaja menyiksa dirinya demi sebuah band. Aktivitas yang sangat menyedot perhatian lebih dari malam minggu adalah passion yang akan jadi pasangan hidup, apa pun bentuknya, seberapa pun menderitanya. Malam itu, aku tidak memandang mereka dengan sebelah mata (karena mataku merem dua-duanya). Malam itu, aku bermimpi akan ada sebuah makna yang lebih berharga daripada mempraktekkan teori yakni menteorikan praktek, membentuk materi mata kuliah dari sebuah pengalaman.


Menginjakkan kaki di lantai kuning Istora membuat bulu kudukku merinding. Konon ternyata AC-nya banyak, Saudara-saudara! Bulu ketiakku juga berkibar. Aku rela deh semalaman di sana kalau boleh. Degup dadaku belum teratur benar. Aku lalu menyetelnya dengan pit pit pit pit bismillah tet teret tet tet. Waktu begitu cepat berlalu. Latihan sampai pegel linu masuk angin, makan enak, solat, minum vegeta ya biar boker lancar, moving alat (dari truk bersayap tapi tidak bisa terbang), ganti kostum, latihan lagi, terus seperti itu. Aku pit yang paling gabut sebetulnya. Aku banyak diminta ngadem dan istirahat di kamar sambil menghafal puisi persis anak sekolahan mau ujian nasional dan hanya bisa menonton teman-teman tidak seumuran sedang bermain kelereng di luar jendela.


Di hari-hari terakhir, beberapa bait puisinya sudah ganti. Aku agak stres (yang ini persis anak sekolahan belajar sejarah, tahu-tahu besoknya ujian matematika, tidak ada contekan kunci jawaban pula!). Dan oh ow, aku betul-betul tidak siap jika harus memainkan sound effect juga. Sepertinya Fio membaca kengerian di wajahku. Bunyi dor-dor suara tembakan dan debum bom seakan-akan tampak nyata di kepalaku. Jadilah dia ikut main memerankan tentara perang di barisan pit, katanya biar konsentrasiku penuh. Aku lega. Aku tidak habis pikir dengan perhatian Fio yang bisa terbagi-bagi menjadi head, coach, sekaligus player. Edan.

Aku sempat tidak percaya diri terhadap mencretnya kapasitas otakku di saat-saat seperti ini. Belum berhasil naik tahap ke penghayatan, olah rasa, timing jeda, ekspresi, dan sinkronisasi musik, aku mesti adaptasi dan belajar improve. Aku suka puisi barunya, ngomong-ngomong. Aku hanya perlu terbiasa dengan pembacaan puisi tanpa teks. Aku pernah merasa tidak serasi dengan teater karena harus menghafal naskah seabreg. Dan aku pernah monolog dengan mencontek kertas di stand part. Karena itu, aku menuliskan teks puisinya berulangkali.


Aku hampir-hampir menyerah. Tapi melihat kesungguhan orang-orang di sekitarku yang punya tantangan lebih, sungguh aku malu bercermin pada diri sendiri. Di Jakarta, ada yang baru memegang marimba asli (dengan harga sewa yang pasti bukan main dan butuh penyesuaian), empat malet pinjaman pelatih untuk hampir tiap pasang tangan pemain pit, jempol kaki yang kesemutan, jari-jari bengkak, bahu yang siap angkat beban berat selama berjam-jam menggambar display, tubuh yang nyaris remuk lepas engsel tulang diseret sepanjang lapangan, inhaler bagi yang terserang asma, belum lagi offi yang jarang tidur. Akh, aku tidak bisa membayangkan sepayah apa aku jika berada dalam posisi mereka.


Malam hari sebelum bertanding, kami dibekali Kak Ronald dengan semacam perenungan atau muhasabah atau motivasi dengan mengingat siapapun yang kita cinta. Bisa orangtua, jodoh atau yang hampir jodoh. Aku mencobanya dan terpejam dan banyak wajah berdesakan dalam ingatanku. Terlalu banyak orang yang kucintai. Terlalu banyak orang yang kuanggap jodoh. Jodoh adalah siapa pun yang kita temui dan melengkapi kita, menurutku. Lalu datang bisikan Si Pengatur yang membuat aku berjodoh dengan band ini. Melayang sekilas kalimat-Nya, “Dan akan Kujadikan perbuatanmu bagaikan debu yang berterbangan.”


Diakhiri lagu mentari dalam pertemuan ini, aku masih berpikir, “Akankah kita siap bangun dari jatuh?” Kurasa harus. Meskipun sulit. Bukannya pesimis, aku hanya tidak tahu harus bagaimana jika aku bukan saja menangkap ada keinginan untuk menang tapi juga ketakutan untuk gagal pada wajah-wajah kita semua. Dan bukan cita-citaku untuk melihat kita semua kecewa. Meskipun memang sebetulnya aku punya firasat buruk semenjak menaiki bis kedua, mendengar sopir yang tidak sabaran adu mulut dengan polisi pengawal kita. Aku mengambil posisi tidur dan meredam dalam-dalam firasat itu. Apa pun yang terjadi aku ingin melangkah bergandengan bersama band kebanggaan kampusku ini. Aku ingin! Bagaimana pun aku bangga mengenakan kostum kebesaran Waditra Ganesha (pipis, tahan! pipis, tahan!) sambil mendorong alat.


March in, marimba sewaan baru datang selesai disiapkan Field Comander (FC, aku manggilnya dirijen sejak SD paduan suara). Mic mati membikin aku panik dan ingin mati juga saat itu. Lampu kuning sudah berkedip. Beberapa kesalahan teknis di awal tadi seakan merembet pada show keseluruhan. Selesai klasifikasi yang hanya belasan menit itu, aku melihat sungai deras mengalir di pipi-pipi temanku. Beberapa ada yang karena bahagia sudah tampil. Beberapa ada yang tidak ingin berpisah. Beberapa ada yang mengevaluasi dirinya. Faza bilang musiknya tidak sebaik gladi bersih. Aku yang tidak mengerti musik, bisa apa?


Tadi pagi urat-urat leherku udah kayak karet gelang di sebungkus nasi goreng, ditarik sedikit lagi putus. Menyampaikan teks, aku berteriak kencang seolah marah pada seluruh penghuni muka bumi ini di bawah atap Senayan. Juri di atas sana sampai berdiri dari duduknya dan melongok ke bawah, merasa ada yang tidak beres. Agaknya kabel tidak tersambung. Layar besar itu seperti sengaja menampilkan sosok bisu seorang tukang baca. Beberapa penonton sampai menunjuk-nunjuk cemas. Sepertinya mic merasa bersalah dan kembali menyala di tengah jalan, di tengah kalimat. Ini kacau. Benar kata Rilis, lebih baik tidak terdengar sama sekali dibanding kalimat yang meluncur berlepasan. Aku mengingat wajah Rilis yang pasti sedih dan teriak anjing-anjingan di kursi penonton. Di bait-bait akhir, Fio tersenyum tiga jari ke arahku. Aku salah menduga sinyal dan hampir melupakan timing. Selepas itu, aku hanya mampu mencoba stay calm and keep focus sampai march out.


Bolehkah aku menyampaikan sedikit kecurigaanku dari semenjak latihan kembali di Mabes TNI? Aku melihat betapa pelatih-pelatih bernafsu untuk mengasah kita secara akseleratif (sebab esok kita tampil lebih pagi dari dugaan). Aku mendengar penghiburan oleh pujian-pujian juri lewat tipe recorder. Aku melihat Naad gemetaran menyampaikan instruksi dan tidak sengaja menjatuhkan stand saat unload. Aku tidak melihat Fio dan kacamata besarnya dan mungkin saja ia sedang menyembunyikan muka panda sehabis pengumuman. Dan aku mengharapkan sekali dia datang, terlalu berharap sampai-sampai beberapa kali salah lihat orang.


Barisan duduk merapat. Pengumuman dibacakan. “Kita punya kesempatan jadi juara satu—” lirih Adimas senang membuat semua pemain menahan nafas dan ia kembali melanjutkan, “Di divisi satu.” O, aku tidak sanggup mendengar raung kesedihan ini. Pembacaan pengumuman begitu enteng di mulut tapi aku yakin, itu tidak di hati. Berpasang-pasang mata kulihat mendadak sewarna dengan darah. Hening lalu terdengar ledakan. Aku bisa merasakan sesaknya rongga dada semua yang bekerja di tim ini. Aku tidak menyangka, masuk divisi satu adalah hal yang betul-betul berat bagi tim ini. Bahkan mengangkat wajah pun tidak sanggup kelihatannya. Ini mungkin bukan sebatas gengsi kampus yang dipertaruhkan. Ini tentang perwujudan mimpi bagi band yang mengandalkan pit marimba berbahan kayu. Atau lebih daripada itu, pembuktian pada dunia marching band.


Pelatih mengatakan, memang band ini berkembang jauh lebih daripada tahun lalu, tapi kita jangan lupa kalau band yang lain juga mempersiapkan yang terbaik tahun ini. Aku juga bisa merasakan gegap gempita aura mereka, rival kita. Hanya saja, seperti kata Kak Fifi, kita tidak boleh lantas minder. Alat mereka lengkap, memang. Properti mereka besar, memang. Tapi dada kita jauh lebih lapang untuk tetap tenang. Lalu kita menganggap final bukan merupakan pertandingan melainkan murni permainan, dan kita benar-benar enjoy bermain. Siapa yang sanggup membangun puing-puing kehancuran? Siapa yang sanggup merapikan debu-debu yang berterbangan? Dan kita keluar dengan wajah amat sangat bahagia. Waditra Ganesha tidak pantas berada di Divisi Utama, tapi kita lebih juara daripada itu.


Aku akan protes jika saja ada yang menganggap proses kalian kurang maksimal, menghukum diri dengan mogok makan, gantung diri dan gentayangan. Mungkin memang banyak di antara kita yang mencari alasan kenapa kalah kenapa gagal kenapa kita yang harus begini. Keterlambatan mendatangkan pelatih, bolos latihan, sampai kurang konsentrasi dipersalahkan. “Sudah apa setahun ini? Dasar tidak becus!” kausalahkan dirimu dan ingin melemparkan tubuh ke jurang. Berhenti. Berhentilah kecewa pada diri sendiri atau teman-temanmu ini. Aku takut, Kawan. Aku takut ketika kita sampai meremehkan potensi kita artinya kita meledek posisi Tuhan yang memberikan potensi itu kepada kita. 


Proses bisa jadi tidak sama dengan hasil. Akan selalu ada faktor X yang tidak bisa kita tebak. Itu suratan tertulis. Bukan proses namanya jika ingin cepat sukses dengan mendambakan hasil. Proses adalah perjuangan melelahkan, up down up down. Seperti bayi belajar berjalan, tidak hafal sudah sejauh mana berjalan, seolah-olah jatuh bangun, padahal kesakitan-kesakitan saat jatuh membuat ia tumbuh lebih berani. Perjuangan melelahkan itulah yang bernama keikhlasan. Ikhlas bukan berarti pasrah menerima keadaan. Ikhlas adalah berproses karena suatu dorongan kuat, apa pun yang terjadi nantinya.


Punya target Juara Umum Divisi Utama memang tidak salah dan itu harus, tapi kenapa harus begitu? Setelah tercapai itu, memang mau apa? Cita-cita kan relatif. Abi bilang semua punya cita-citanya masing-masing dan ia turut bahagia melihat teman-temannya menggapai cita-citanya itu. Dorongan kuat kurasa bukan sekadar target sejauh lima senti atau lima kilometer, bukan sekadar cita-cita. Tapi apa yang membuat kita punya dorongan sekuat itu. Begini, aku sendiri tidak ragu dengan proses band ini sejak mulai berkompetisi. Untuk memahami maksudku, wawancarailah orang yang pernah terlibat peperangan dan jangan tanyakan apakah ia mau menang karena pasti ia mau menang. Tanyakanlah kenapa ia mau pasukannya menang dan ia akan bercerita tentang sejarah dirinya juga pasukannya juga masa depannya.


Aku harap visi misi MBWG jauh ke depan bergema dalam sanubari masing-masing anggotanya. Aku senang bisa mengenal kalian. Tetap egaliter! Hal yang sangat ingin aku katakan adalah bahwa di MBWG aku punya banyak bahu untuk bersandar, punya banyak tubuh untuk kupeluk. Sebaliknya aku siap menampung air mata kalian, bahagia maupun sedih. Dan maaf, aku terlalu panjang menulis ini. Sepulang dari bis kemarin, aku kembali sendirian dan hanya bisa menatap punggung-punggung berjauhan. Aku luntang-lantung masuk kafe, mendengar dentuman musik dan mengingat sisa kenangan. Mungkin dengan menulis, kegalauanku sirna. Terima kasih atas kebersamaan yang singkat itu. Terima kasih buat Fio, semoga makin gemilang. Dan untuk menutup tulisanku aku punya beberapa fakta dari mata seseorang dari luar, seseorang yang sangat merindukan kalian.


Faktanya adalah:
1. Dulu sebelum selingkuh sama marching band, aku cuma tahu dua alat: drum sama terompet. Sudah, segitu saja. Serius. Oh my God, ternyata terompet pun ada banyak macamnya! #mampusajakalaukamusuruhakusebutinsatusatu
2. Aku lebih menginginkan sound mati daripada sound rebek: aku benci dengar suara sendiri apalagi kalau mic
nya jelek.
3. Meskipun tanpa otak, aku lebih menginginkan kerja keras (macem unload alat) daripada harus bengong nunggu kalian selesai latihan.
4. Andaikan aku bisa, aku pengen banget nonton band ini dari kursi VIP paling atas tapi waktu bareng Kak Kuntet duduk di sana, aku nyaris oleng dan muntaber. Gak jadi ah, aku gak suka ketinggian.
5. Pengen maju ke tengah-tengah yang display, melototin yang mukul-mukul beduk, melototin yang tiup-tiup sangkakala (maksudku terompet paling gede yang harganya bikin kiamat). Nafas mereka sebanyak apa sih?
6. Aku mikir lama, “Aku ini mau pipis gak sih?” sesaat setelah aku ganti overall.
7. Heran sama CG, apa kaki mereka gak ketuker?
8. Paling suka sama kostum tentara daripada rok merah nyala. Hmm sebenarnya, yang cowok, aneh diliatnya.
9. Pernah gak pakai bra gara-gara gerah.
10. Pernah salah kostum dua kali. Di hari pertama karantina malah pakai kemeja dan di hari terakhir penutupan lupa bawa kaos merah. Dan jadinya aku pakai kaos merah ini sampai di hari aku nulis ini.
11. Susah ngapalin nama pemain selain pit. Guys, pake nametagnya yang bener dong! Aku mau nyapa, susah. Hehehe. Sampai salah deh aku ngegandeng Gina kirain Rana.
12. Susah push up akh, memalukan. Tanganku pernah patah.
13. Aku gemes sama ekspresi para pemain simbal.
14. Aku ngefans sama Pak Harto dan pengen foto berdua sejak ketemu dan Rilis tahu itu.
15. Aku jadi suka paha ayam. Sumpah!


Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!