Kart's

Daily Notes

Dilarang Bangun Tanpa Membangun

Leave a Comment

Judul tersebut sebetulnya sudah saya susun untuk Storybook KKN Tematik ITB. Kebetulan saya ditunjuk jadi editor. Aneh, sampai sekarang kata-kata ajaib itu tetap membuntuti hati dan pikiran saya setiap bangun tidur. Saya kemarin tidak sempat pergi ke pelosok Tasik untuk membangun jembatan dan semacamnya bersama rekan-rekan panitia karena satu-dua hal. Barangkali saya dianggap malas. Biarlah. Penyesalan itu tidak saya persoalkan. Selain KKN, tentu sebagaimana mahasiswa ITB pada umumnya, saya sok-sokan menjadi pelopor sebuah organisasi atau sekte atau katakanlah cikal bakal partai. Akan tetapi, lagi-lagi, saya belum juga sempat terjun menghadapi sengketa antara kaum bumi dan langit, antara rakyat dan penguasa. Saya memang aktif pipis yang gagal.

Tidak, saya tidak akan berbicara berat-berat soal pembangunan negeri. Ini soal pembangunan diri dan/untuk diri-diri yang lain. Syahrial, kawan sekaligus rival saya dalam tata kelola tim, mengungkapkan ambisinya untuk membuat sebuah program yang belum pernah ada di dunia. One by one. Satu mahasiswa menggaet satu anak di sekitar kampus untuk dididik! Boleh juga. Saya tertarik dengan ajakan beliau saat mencari partner.

Saya jadi teringat sebuah film berjudul Pay It Forward. Sungguh menginspirasi. Film itu bercerita tentang bagaimana kita akan menciptakan mata rantai kebaikan hanya dengan berbuat baik. Meskipun aktor utama di sana meninggal pada akhirnya karena sebuah perlawanan yang memilukan, saya tetap ingin membela yang lemah. Sampai mati atau kalau perlu sampai gila. Tidakkah terdengar bullshit? Dari sana saya tidak langsung mengaplikasikannya melainkan mempertanyakan terlebih dulu. Apakah mungkin saya memberikan uang pada anak jalanan sementara kau tahu sendiri sulit rasanya menemukan kejujuran di negeri carut marut ini? Jangan-jangan uang yang dia terima dipakainya untuk ngelem atau nyabu. Atau jangan-jangan saya overdeep negatif thinking. Tapi bagaimana pun saya harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Saya memantapkan hati untuk mulai dengan didikan. Trevor McKinney dalam film tersebut juga tidak secara membabi buta menolong orang. Dia memulai aksinya dengan berdiskusi soal program sosial dengan pria homeless yang ditemuinya. Trevor menyadari pendidikan memang pilar penting pembangunan sosial. Oke, saya hentikan dulu paragraf ini karena takut kalau-kalau esai-curhat ini berubah jadi review film.

Saya sadar kalau tangan saya cuma dua. Kaki saya juga cuma dua. Untung gigi saya tidak tinggal dua. Saya harus punya generasi penerus yang mewarisi apa yang saya pahami dan yakini. Saya tekadkan untuk membuat dua kriteria menjadi pahlawan kebetulan: semangat terhadap apa-apa yang sudah dimulai, fokus terhadap apa-apa yang tak tersentuh orang kebanyakan. Awalnya saya tertarik pada pengabdian masyarakat bernama KKN (Kuliah Kerja Nyata). Konon di kampus saya KKN menjadi mata kuliah pilihan. Tidak wajib. Saya pun menjadi peserta KKN. Saat itu wilayah yang dipilih adalah Cianjur (sekalian pulang kampung!). Belum banyak yang tahu soal matakuliah ini. Mendengar dari para peserta lain yang ternyata cuma kejar paket A, saya pesimis dengan kurikulum KKN dan berniat ingin menjadi agen perubahan—nama lain dari pembantu umum yang senantiasa menggaji majikan. Lama kelamaan wacana pengmas sekarang sudah difasilitasi kampus dengan baik. Pesertanya pun membludak. Bahkan ada seleksi ketat. Maka saya memilih urung dari niat itu dan membiarkan tangan-tangan lain bekerja. Menjadi Menteri Sosial-Politik di KM juga tidak menarik perhatian saya. Salah-salah nanti saya jadi pejabat kesiangan.

Saya mundur dan terbentur lagi dengan unit yang saya cintai dan kebetulan pernah saya kepalai sebab sulit saya pantati. Lingkar Sastra ITB. Saya memang senang jadi pahlawan kebetulan. Katanya peminat sastra di ITB itu bisa dihitung jari. Saya tidak percaya. Insitut terbaik bangsa sebagai penyaring orang-orang cerdas tidak mungkin beradab tanpa sastra. Seperti kata Pram, “Tanpa mencintai sastra, kau hanya tinggal hewan yang pandai.” Tentulah yang nyemplung ke kolam ini adalah orang-orang pilihan, bukan orang-orang yang bisa disejajarkan dengan hewan. Pastilah orang-orang yang tersesat di sini adalah penggemar buku bacaan. Setidaknya buku-buku pelajaran.

Masalahnya hanya terletak pada ketiadaan wadah saya pikir. Lantas ada apa dengan unit ini kok tinggal dedaknya? Saya mencoba mengungkap fakta bahwa dunia sastra tidak sedang mati suri. Kursi mata kuliah umum Apresiasi Sastra selalu diperebutkan setiap tahunnya. Kelasnya penuh sampai-sampai saya harus ikut sit in dan meninggalkan kuliah wajib. Dosennya baik sekali. Tahun ini saya berhak mengisi absensi dan kulihat ada banyak daftar nama calon penulis, penyair, kurator seni, kritikus sastra, dsb. Mereka paling tidak sudah menjadi penikmat sastra  Hanya saja saya harus melaminating jejak mereka yang mudah hilang tergeser angin. Dulu GAS (Grup Apresiasi Sastra) di ITB melahirkan orang-orang keren seperti Nirwan Dewanto, Fadjroel Rahman, Kurnia Effendi, dan Acep Zamzam Noor. Mana generasinya? Tinggal siluman barangkali.

Sekarang rahim itu mengubah namanya menjadi LS. Di bawah ketiak agung “Kaderisasi”, ada ancaman bahwa kalau anggota unit kurang dari 70 ekor, akan dihapus. Mampus! Panik saya kemukakan lagi lingkaran kecil ini ke hadapan publik. Saya senang ada beberapa mahasiswa plus pengamen multitalenta yang menyembah dirinya sendiri juga berupaya mempertahankan LS. Saya bangga terhadap Acep Iwan Saidi yang kerap dipanggil Bapak Doktor sudah begitu peduli dan memfasilitasi kami di saat-saat kritis. Saat itu saya ditawarkan untuk menjadi hantu penunggu Warung Narasi (orang-orang sering salah sebut menjadi Warung Nasi, ini juga menyebabkan ada banyak pengunjung yang ngampar sambil makan-makan di teras depan dan hanya meninggalkan tulang ikan serta daun pisang). Warung Narasi menjajakan souvenir seperti kaos puisi, buku-buku sastra, piring cantik yang merayumu dengan aduhai. Kios atau sanggar mungil ini bertempat di Kebun Seni atau parkiran belakang Kebun Binatang. Tempat yang tidak seperti area seni pada umumnya. Kami harus berbagi shif dengan tukang parkir. Siang ke sore milik mereka dan sore ke malam milik kami. Sepulang acara wisuda atau menjelang keberangkatan haji tempat parkir biasanya penuh mobil-mobil, motor-motor, dan juga sampah-sampah.

Warung Narasi lebih mirip toko beras bangkrut, kata Deddy Koral—penyair sekaligus penjual batu akik sekaligus Presiden Kebun Seni. Barangkali karena ditutup terus. LS bertekad akan menjadikan kios ini sebagai imam bagi kios-kios lainnya untuk aktif berkarya. Sekretariat tidak jelas di kampus sudah tidak lagi terlalu kami pikirkan. Sebagai desk adminastrasi dan storage barang tentu sekretariat di kampus akan berguna. Buku-buku bernutrisi milik kami sangat banyak dan tidak tahu akan kami apakan. Menjadikannya Surga Baca sempat menjadi cita-cita kami, hanya saja butuh tenaga lebih banyak lagi. Bertahun-tahun kampus membikin kami sesak nafas. Huruf-huruf Kapital sudah bangun serentak dan mengusir Huruf-huruf Kecil seperti kami. Kami kekurangan spasi. Keterbatasan gerak memang seringkali menjadi ide untuk lebih berkreasi. Tapi bagaimana pun kami ingin diakui.

Kumpul perdana kemarin agak jam karet dan terlalu banyak mobilisasi dan dengan kordinasi yang tersendat-sendat. Meskipun begitu, tetapi tetap saja antuasias peserta tidak padam sampai akhir rundown acara. Saya terharu melihat adik-adik binaan saya kini tergerak untuk membina adik-adik baru. Saya terharu menyaksikan diri saya membelah diri dan saya membayangkan saya akan mati dengan damai karena saya punya perpanjangan tangan untuk mimpi-mimpi yang tak selesai. Esai-curhat ini akan lebih banyak mengupas LS sebagai bagian dari proses kreatifku di bidang kesastraan.

Panggilan sesungguhnya ialah terhadap pendidikan dan kemanusiaan. Saya lalu bertemu Ibnu Ubaidillah seorang bos eksekutif Konsultan Sekolah, alumni Kimia ITB 2010. Saya pun melamar jadi member Program Kreativitas Mahasiswa yang beliau presentasikan (sekarang tiba-tiba namanya jadi hits). Yang menarik hati saya bukan karena gaya bicaranya yang mirip jalan kereta api—panjang tidak pernah terputus—tetapi karena ide-idenya yang brilian menyoal pendidikan dan bisnis. Tidak adanya desainer barang sebiji pun membuat saya diikutsertakan dalam lima tim, lima judul, dan kelima-limanya lolos. Di satu judul tiba-tiba saya jadi ketua. Saya menganggap ini semua sebagai sebuah ketiba-tibaan yang mengejutkan. Tapi tidak ada ketiba-tibaan di dunia ini. Daun jatuh sudah tercatat dalam diari Tuhan. Jadi ketua bikin deg-degan. Saya tidak suka dianggap eksistensialis. Dari dulu kerja saya cuma di belakang panggung (kecuali untuk sastra tentu saya harus maju ke panggung). Makanya dalam program yang saya stir, saya tidak becus bangun dan membangun tim dan cuma sampai di Monitoring Evaluasi. Seluruh anggota tim sibuk di lain program. Saya memilih untuk fokus lagi pada apa yang saya pilih. Saya cukup optimis dengan program pilihan saya yang lain, di bidang pengabdian masyarakat, absolutely yes. Intellegence Curriculum 2013 Support. Barangkali karena rasa bersalah saya terhadap ketuanya, saya kangen pulang ke tim ini, terlebih jalan perjuangan akan sangat panjang setelah lolos PIMNAS.

Akhir-akhir ini saya menyadari kalau menjadi pahlawan kebetulan itu tidak gratis alias butuh modal juga. Saya ingin mencari kerja yang sesuai dengan pasion saya. Bukan lagi jualan es mochi yang rentan meleleh, dan sisanya saya seruput sampai olab. Pengalaman dagang tentu tidak sia-sia karena dari sanalah saya mulai berani menyapa orang asing.

Atas nama kebetulan, saya lalu menerima tawaran proyek dari Karisma Tech, game and web design studio. Honornya lumayan ya (cukup buat hijrah ke Singapur) sekalian dihitung Kerja Praktik meskipun pulang-pulang saya mabok navigasi karena terlalu lama duduk di depan laptop. Untung saya sudah punya kendaraan, yakni sepeda antik hasil bongkar pasang dari bengkel. Tanpa sepeda, saya tidak bisa hemat ongkos. Bersepeda bagi saya adalah berimajinasi di tengah berlelah-lelah. Belum habis masa-masa kebetulan, hadirlah sosok Desainer dengan background Teknik Informasi yang membuat saya iri. Jeni Roxy. Beliau juga menginspirasi. Berkat teman sekamar saya, Reza, saya bisa kepo hasil kerjaan beliau. Reza mengajak saya membangun semacam Pesantren Desain dan mencari challenges dari luar negeri. Saya bilang saya tidak mahir bahasa inggris. Mungkin lain kali.

Saya berpikir panjang untuk belajar jadi bos tapi tetap bisa gajian dan jangan dulu berurusan dengan bule. Saya terhipnotis oleh Kak Ubai untuk mulai membangun ide-ide baru untuk menjadi Entrepreneur. Saya dan kawan-kawan yang saya percayai lalu mencari peluang di berbagai bidang yang di-compare menjadi satu. Berdirilah lembaga kursus Public SpeedKing, akselerasi merajai panggung. Lembaga kecil ini mulai aktif semester ini. Kurikulumnya sih sudah disusun berbulan-bulan lalu. Saya dan tim bercita-cita menjadi King Maker, karena seorang raja harus mencetak raja.

Semuanya ini berawal dari sastra. Membangun bahasa. Membangun komunikasi. Membangun relasi. Membangun tim. Menduplikasi diri. Bukan bangun sendirian, seperti halnya anak Adam yang bermesraan dengan Tuhan, tapi penjahat kelamin dibiarkan. Kalau kau enggan membangun, tidur sajalah.

*) gambar diambil dari www.huffingtonpost.com
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!