Maaf, Aku Selingkuh!
Ini
bukan cerita rekaan sebagaimana biasa aku tulis. Ini nyata.
Aku
menulis catatan dengan judul mengharukan ini tepat setelah aku mengusirmu. Kau pria
berkemeja biru, datang dari jauh, jauh, jauh jarak maupun waktu. Sudah
tiga-empat kali (kalau tidak salah) kau singgah selepas lebaran. Dan terakhir, baiklah, barangkali
benar kau sudah mempersiapkan pipimu untuk ditampar. Belakangan kau sadar kalau
ogahku desahku diamku lebih melukai daripada tamparan. Lalu kau sukses
menyandang gelar ‘mantan pacar’. Selamat! Tapi memang sejak kapan kita berpacaran?
Aku kok lupa.
Duh,
maaf, aku memang kejam. Ini yang berkali-kali aku katakan padamu. Aku bukan
orang baik dan pertemuan kita juga bukan di saat yang baik. Kau pun paham, aku sedang
tidak ingin diganggu. Aku malas menerima telepon dengan basa-basi yang
membosankan, bertukar pesan singkat melulu padahal kesibukanku tidak hanya itu.
Kau pun paham bagaimana posisiku. Aku tidak pernah menabung rindu untukmu. Duh, maaf, aku memang kejam.
Tapi
tidak mungkin seseorang kejam tanpa alasan, kan? Kuakui sikapku memang sungguh
sangat keterlaluan. Soal itu, maafkan. Aku enggan memberikan secelah pun
harapan, sebab harapan seringkali mengacaukan segala kenyataan. Dan kecewa adalah
buahnya.
Tapi aku juga tidak bisa berbuat banyak. Aku yakin rasa benci akan memupus
namaku di hatimu bukan rasa ingin memiliki itu. Dan rasa marah lebih baik
bagiku daripada rasa kasihan. Bayangkan jika semua pasangan di dunia ini merasakan
cinta karena ingin memiliki dan kasihan dengan tidak membiarkan suara hatinya menyusup!
Saat ini kita mungkin sudah melihat keturunan yang memperihatinkan. Mungkin
kitalah mereka, keturunan yang memprihatinkan itu, sebab orangtua kita berdampingan
hanya seolah-olah cinta. Mungkin saja.
Maka,
sudahilah. Aku tidak mau lagi berpura-pura baik hanya karena kau baik. Namun bagaimana
pun aku sangat kagum pada ketulusanmu mencintaiku meskipun, kau juga tahu, aku tidak mampu membalasnya. Dan kau sudah membuat keluargaku kembali berumah. Itu keren. Barangkali
karena ada bahasan soal seseorang yang mereka kira ‘pria sekarang’, keluargaku jadi senang berkumpul. Tapi ini bukan soal keluarga. Ini soal kita.
Aku sempat memikirkan kata-kata paling tepat yang tak menyakitkan. Agak klise. Kalau jodoh pasti kita ketemu lagi kok, kataku. Dan kau terus menemui aku. Pacaran itu tidak boleh tahu, kataku. Dan kau menganggap hubungan kita bukan pacaran. Aku tidak suka sama sikapmu, kataku. Dan kau membenamkan sejuta perhatian padaku sampai nyaris aku mau muntah. Stres! Aku lalu membuka-buka kamus tapi hanya tiga kata yang nyangkut. "Maaf, aku selingkuh," kataku. Barulah kau tidak berkutik sambil terbata-bata bertanya, "Sama siapa?"
Mungkin memang aku harus tampak keji di matamu. Padahal mauku hanyalah tidak berhubungan denganmu. Maka,
sudahilah. Ini juga bukan karenamu. Ini untukmu. Demi kau. Aku sudah lebih dulu ada
dalam posisi yang sulit itu. Bahkan sampai sekarang. Harapan itu terus tumbuh
meski sepercik demi sepercik.
Benar,
aku pernah tersakiti dan itu menyebalkan. Sikap dia terlalu baik dan aku lebih
sakit lagi. Seakan tersalib, kau paham. Aku mendamba sakit yang lebih parah
kalau perlu sampai kehabisan darah, lalu apa? Aku terus meleleh perlahan dan
tidak tahu sampai kapan akan berakhir. Padahal aku rindu ditampar, terus
ditampar, sampai bekasnya dituntun ke hati. Itu lebih melegakan pasti. Meskipun
sakitnya tuh di sini.
Kau
tahu, waktu terus bergulir dan sejarah akan berulang. Kau pernah merasa dejavu
saat tiba-tiba kejadian yang telah lama kaulupakan dan ingin coba kaubuang
hadir kembali dalam bentuk dan posisi yang lain? Aku berani bertaruh dengan bulu
ketiakku yang tinggal seinci, bahwa hukum alam akan selalu berlaku. Berpikirlah
saat ada yang menyakitimu bahwa orang itu pernah tersakiti juga sama seperti kau
sakit bahkan barangkali lebih sakit. Jangan dulu menyumpahinya lantas berpikir
dia besok harus tersakiti. Berpikirlah mundur sesekali.
Kau
pelan-pelan akan mengerti. Tidak, aku tidak sedang balas dendam, lantas menyakitimu,
pria kemarinku. Aku melakukan semua itu karena tahu apa yang harus kulakukan
kalau toh berada dalam posisi dia yang menyakitiku. Itu saja.
Aku
sudah mempersiapkan itu semua sejak aku sakit. Aku harus benar-benar membuatmu
sakit. Duh, Kak, percayalah, jatuh cinta itu sakit. Akan tetapi memang akan
lebih sakit kalau kau bangun cinta. Jadi kenapa harus bangun cinta, katamu. Ah,
kau lupa, jatuh cinta tidak menghasilkan apa-apa selain kesengsaraan. Sedangkan
sehabis bangun cinta tentu kau punya hak untuk berangkat-pulang-tinggal sesuka
hati. Berangkat dari kesedihan pulang kepada kebahagiaan dan tinggal dalam kekekalan.
Entahlah,
aku tidak bisa memutuskan kau benar jodohku atau bukan. Barangkali suatu saat aktor
itu, pria kemarin itu, akan berganti peran menjadi pria esok namun dalam bungkus
yang sama. Kau? Kau kini pasti tersenyum. Ada peluang!
Dengar,
Kak.. (bolehkah kau kupanggil Kakak?) Aku sudah meragukanmu sejak dulu. Ya, ragu,
kecuali sebagai saudara. Kau ingat ayat tentang pasangan dalam surat cahaya? Ayat
itu pastilah anjuran untuk kita bangun cinta, bukan jatuh cinta.
Kemarin juga
sekarang, aku belum siap bercermin padamu, menangkap diriku dalam dirimu. Biarlah
Tuhan yang bekerja dalam urusan ini. Setidaknya berkat kehadiranmu, aku jadi
tahu kalau hidupku masih berantakan. Barangkali karena itu Tuhan mempertemukan
kita. Kau juga mungkin masih merasa berantakan. Bersyukurlah. Tidak ada manusia
yang tidak merasa berantakan begitu berpasang-pasangan dan melihat betapa
berantakan pasangannya. Bersyukurlah. Kau dipercaya Tuhan untuk berubah.
Hmm..
tentang kekacauan hari kemarin. Tadinya aku ingin mengulang saat-saat itu dan
berjanji untuk tidak bermasalah, tidak diperbudak oleh, kau tahu, cinta. Bahkan
untuk bertemu pria sepertimu rasanya tidak penting-penting amat. Tapi, hei, aku
tidak boleh menyesal. Sebab dengan menyebrangi saat-saat kemarin, aku
belajar bagaimana membenahi kekacauan, bagaimana menjadi tuan bagi cinta. Sampai di surga.
Kalau
kau ingin memelihara cinta juga, peliharalah. Tapi, cinta hanya peliharaan. Cinta
akan mematuhimu apapun itu, tentu, bukan apapun kaupatuhi demi cinta. Sebab cinta
ada, selalu, untuk kita. Selamat tinggal pria kemarinku. Selamat jalan nyaris
jodohku! Maaf, aku selingkuh. Maafkan ketidaksetiaanku padamu.
Dan terimalah
kesetiaanku pada-Mu, Tuhan. Kau tidak perlu cincin tunangan, 'kan? Tapi aku punya
kening di atas sajadah untuk Kaukecup, mesra, sangat mesra..
Nikmatilah! Tidak
usah Kau terburu-buru apalagi melarikanku. Tidak, ia atau siapapun tidak akan
cemburu. Ketahuilah, telah kuhargai pria kemarin yang mencintaiku dengan sekalimat
doa: semoga kelak ia mendapat perempuan esok yang paling elok ketika ia pun elok
di hadapan-Mu. Bisa jadi perempuan itu aku. Bisa jadi bukan. Lalu akan kujadikan
halal diriku bagi pria esok yang lebih dulu meminang-Mu. Insyaallah.
Sebab
aku lebih suka jadi selingkuhan.
Cianjur-Bandung, 2015
"Berpikirlah saat ada yang menyakitimu bahwa orang itu pernah tersakiti juga sama seperti kau sakit bahkan barangkali lebih sakit. Jangan dulu menyumpahinya lantas berpikir dia besok harus tersakiti. Berpikirlah mundur sesekali."
ReplyDeletePerfectly written.
Kadang kita sering lupa kalau orang yang menyakiti kita juga manusia :)
xoxo,
Dara
Kalau kata Acep Iwan Saidi, "Dalam diri kita ada hati yang pelan-pelan menyusut."
DeleteCara kamu menggambarkan bagaimana keluargamu jd suka berkumpul karena ada "pria sekarang" keren bgt. I always amaze in how you write things.
ReplyDeleteAlways? Sejak kapan, Ridho? Hehe. Terimakagaji. Yuk bikin storybook of KKN.
DeleteDan terimalah kesetiaanku pada-Mu, Tuhan. Kau tidak perlu cincin tunangan, 'kan? Tapi aku punya kening di atas sajadah untuk Kaukecup, mesra, sangat mesra..
ReplyDeleteBagus...
Sepertinya saya tidak asing dengan nama 'Purwo Diyono'.
DeleteTerimalahkasih.
Asik
ReplyDelete