Kart's

Daily Notes

Jangan Pilih!

Leave a Comment


Narator:
Seperti juga kereta kuda, katanya, kursi pemerintahan butuh kusir biar tidak kesasar. Tapi, katanya lagi, kursi tidak akan berdiri tanpa empat kaki: uang, media, posisi, dan keturunan. Kusir ada di atas kursi karena dipanggil, dan panggilan ada justru karena hak suara, katanya.

Katanya.. katanya.. katanya.. kata siapa?

Yiha! Berpasang-pasang lidah terus bersilat meskipun jurus maut tersangkut kalimat rapuh. Berpasang-pasang telinga sibuk melacur sehabis diperkosa bibir-bibir perkasa. Berpasang-pasang kelamin masih akrobat dalam iklan. Amanat-amanat bergulir tanpa permisi, menyalip panggilan adzan dan bunyi lonjeng gereja. Pendapat-pendapat antre sebelum berak pendapatan. Undang-undang, rapat, sidang, kampanye, unjuk rasa, wawancara, puji syukur, syair lagu, kritik, caci maki dan gosip investigasi mencederai sabda para nabi.. (Gaduh dalam Lapar, 2014)

Pada lalu lintas peradaban, betapa marak suara, betapa gaduh suasana. Suara kita sanggup berseliweran dengan bahan bakar tiga ratus juta angan, salip menyalip pada kiri-kanan bahu jalan. Suara kita selalu susul menyusul dikemudikan internet maupun televisi, selalu keluar berdesak-desakan sehabis parkir di halaman majalah dan surat kabar, menabrak komidi putar ekonomi dan bianglala janji, tersesat di kegelapan bilik suara, terperosok ke dalam jurang kehancuran, menyesaki udara dengan polusi keluh dan puisi kesumat, macet oleh tidak tahu, putar haluan kepada bisu.

Rakyat:
Aku bukannya bisu. Suaraku selalu saja minggat entah ke kantong yang mana, entah ke saku siapa, barangkali tidak betah jika harus tinggal bersama desau angin tenggorokan kemarau dan perut korslet yang sebentar-sebentar sunyi sebentar-sebentar asyik menyetel irama musik keroncongan. Suaraku leluasa keluar-masuk pintu hati, sempoyongan digandeng bayang-bayang kesejahteraan. Terakhir kutemukan dia menghitung rupiah di samping koper penuh sembako dan baju warna-warni. Besar dugaanku suaraku habis mabok sebotol kampanye lalu melacurkan diri lima menit bersama foto-foto calon presiden.

Keturunan:
Hati-hati kalau bicara. Kau sedang berhadapan dengan Bapak Bangsa, akar pohon kepemimpinan.

Media:
Apa kau lupa tentang siapa selama ini yang menyibakkan tirai jendela di kedua matamu?

Posisi:
Segera tutup matamu dari candu promosi dan racun orasi. Kau hanya boleh membuka mata pada telunjukku ini.

Uang:
Akulah kekasih suaramu, datang menjemput!

Rakyat:
Kekasih sejati suara adalah hati kecil ini. Ah, suaraku sayang, jangan cuma karena nominal yang nolnya berderet berdesakan silau, kau jadi buta!

Uang:
Eh! Kau berkata begitu seolah-olah tidak pernah membutuhkanku? Suaramu tidak mungkin bisa didengar siapapun kalau bukan karena suaraku. Tidak ingatkah kau, aku adalah peran utama pembangunan negeri?

Rakyat:
Tidak. Peran utama demokrasi itu aku, bukan engkau. Dasar jalang! Lagian mau-maunya kau dapat sentuhan menjijikan dan digilir dari tangan kotor ke tangan kotor yang lain! Aku tidak sudi menjual suaraku sepeserpun cuma demi jalang sepertimu! Sungguh aku tidak sudi kecuali untuk selembar kain kafan di hari paling berkabung di muka bumi, yaitu pada kematian harga diri.

Uang:
Asu buntung!

Media:
Bah! Gayamu selangit.

Posisi:
Kirimkan padaku paket keimananmu!

Keturunan:
Namaku adalah mata pedang langit.

Rakyat:
Aku menanti Satrio Piningit dan yang datang kemudian adalah satria berkuda, kudengar ia keturunan sang raja, gagah berani menumpas lawan, tapi belum kulihat kilatan pedang menghunus. Aku menanti Ratu Adil lalu datang utusannya dengan wajah coreng moreng mengibarkan bau ketiak, dan mengabarkan siap jadi pelayan. Media! Media! Mana yang harus kupilih? Atau, (kuganti pertanyaan) haruskah aku memilih?

Media:
Terserah! Tapi cobalah tengok kedua mataku ini. Pertama akan kaujumpai bahwa pilihanmu itu sangat sederhana bahkan terlalu sederhana untuk dikatakan sebagai seorang pemimpin, maka pilihlah ini yang lebih berwibawa, tegas dan punya mental ksatria. Kedua akan kaujumpai bahwa pilihanmu ini cuma jago angkat senjata dan ia telah menculik bibit-bibit sejarah maka pilihlah itu yang lebih jujur dan merakyat.

Rakyat:
Hentikan! Lakumu sungguh mengaburkan pandangan. Mataku buram oleh kabut intrik dan taktik kemarin. Aku linglung di persimpangan. Lalu kepada siapa seharusnya aku menaruh suara?


Posisi:
Telunjukku mukjizat dan perintahku suara Tuhan. Telunjuk ini sanggup menembus tujuh lapis langit sekaligus. Akan kutunjukkan padamu sumber cahaya. Aku berani menjamin bahwa negeri kita aman jika dipimpin yang baik, yang baik menurutku.

Rakyat:
Maaf Tuan, bukan berarti aku hendak membangkang orang besar sepertimu. Tapi menurutku yang baik itu tidak ada. Yang ada hanyalah terbaik di antara terburuk. Aku enggan memilih iblis yang terbaik karena iblis tetaplah iblis. Kusarankan kau tetaplah dalam posisimu, duduk di balik meja mengurusi rating dan ranking. Tidak perlu celup tangan dan mengeruhkan kolam masa pemilu.

Posisi:
Aku hanya menawarkan sebuah sudut pandang yang beda dari orang terpercaya. Dan, hei, siapa yang kausebut Iblis?

Keturunan
Bukan iblis, tapi keturunanku. Camkan itu! Kau seharusnya tahu siapa aku. Perlukah berulangkali kujelaskan silsilah keluarga kami dari hulu ke hilir? Dia yang pantas kaupilih, putera mahkotaku!

Uang:
Bukan, tapi yang paling tebal dompetnya.

Posisi:
Akh! Kenapa suaraku tidak pernah kaujadikan mata angin?

Media:
Jadi tunggu apa lagi? Bersuaralah!

Rakyat:
(diam beberapa saat lalu menjambak rambutnya sendiri) Jangan! Jangan pilih! Aku belum paham apapun tentang mereka. Tidak, tidak bisa, aku tidak bisa memilih. Aaargh bagaimana seharusnya aku berbuat?

Narator:
Jangan pilih apabila suara-suara hanya memadati kemah-kemah pasar seperti daging sapi yang mudah dibeli. Jangan pilih apabila suara-suara dikemudikan para nahkoda kapal siaran. Jangan pilih apabila suara-suara sudah tidak lagi percaya diri, hanya melirik kanan-kiri, mencontek para simpatisan. Jangan pilih apabila suara-suara hanya mengenal putera mahkota. Dan, dianjurkan memilih bagi suara hati yang dikawal kebenaran. Suara hati juga perlu berguru pada angan dan impian untuk neraca pertanggungjawaban lima tahun ke depan.

Naskah dibacakan oleh Stema ft Lingkar Sastra di Dago Car Free Day pada Minggu 1 Juni 2014.
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments:

Post a Comment

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!