“Tolong foto ya!” seru seorang gadis kecil pada temannya. Kemudian ia berjalan mundur mendekati pohon akasia yang beridiri kokoh di taman Permai. Punggung taman itu diselimuti rerumputan hijau yang memangku butiran embun, dan dedaunan pohon mahoni memayunginya sampai pagar pembatas.
Di atas sana langit merebah, tidak ada setitik awan pun yang menodai biru telanjangnya. Cuaca saat itu memang cerah. Terlebih saat semburat jingga menapak di tepian kursi taman. Saat pohon akasia berisik di terpa angin. Saat kupu-kupu megepakkan sayapnya. Dan saat seekor ulat menggeliat menyaksikan nuansa pagi.
“Aaaaaaakkhhhh!!!” pekik si gadis ketika sesuatu dilempar mengenai kepalanya. Oh, ulat berbulu. Si gadis memiliki pobia dengan hewan-hewan menggelikan. Ia bergidik lalu mengibas-ngibaskan rok bajunya dengan panik.
Tak jauh di depan si gadis, seorang anak laki-laki yang memiliki suara parau tergelak. Sampai si gadis menangis pun ia tetap berkelakar.
"Wuekk… Geli!” maki si gadis sambil terengah-engah lalu berhenti berlari. Dalam hatinya ia menyumpah tidak mau lagi bermain dengan si parau. Tidak akan mau.
***
Kebisuan terpecah di suatu kelas. Oh tidak, ternyata Makdum hadir dalam presentasi kala itu setelah sebelumnya absent selama dua minggu. Sedikit ketidakpahaman yang menampung di kepalanya tumpah oleh serpihan tanya dan diperangi dalam puluhan menit.
Kening setiap orang yang duduk-duduk kikuk sudah mengernyit, mencoba menafsirkan dan mengeja kosakata yang baru mereka dengar. Para Pemateri tampak tenang dengan punggung tangan yang menopang dagu. Mereka memutar otak dalam diam. Detik berikutnya barulah mereka bisa membalas lagi. Tetapi lagi-lagi ada yang menyanggah cepat.
“Aku sangat tidak mengerti kenapa kalian menjawab sekenanya?” Makdum menyunggingkan sudut bibirnya, tertawa sinis.
“Lalu apa maumu?”
“Aku mau kejelasan,”
“Sodara Makdum!” sentak Asri, seorang Moderator yang mencoba mencairkan suasana. Makdum sontak terdiam dibuatnya. Hanya saja bulu matanya masih menggeletar dingin. Ia mengangkat kedua alisnya yang melengkung tebal di sana, di atas kedua kelopak matanya. Sedang Asri tetap mengerang. ”Bisakah anda tidak mempertanyakan hal yang sulit?”
Pertanyaan dramatis ini membuat dengung seantero kelas kian membuncah. Tampak wajah-wajah Penyimak yang setuju. Mereka tak mau mendengar sesuatu yang kiranya tak perlu dijawab, persis soal bahasa pascal yang ditanyakan seorang programmer terhadap murid baru Sekolah Dasar.
Makdum berdiri lantang, menantang untuk menang. “Tidak sulit. Karena setahuku...”
Kringgggggg… Bunyi bel terdengar nyaring disusul teriakan histeris sebagian anak perempuan. “Hiyeeeeeee….!!”
“Sudah. Presentasi selesai, waktunya habis,” kata guru pembimbing sambil menutup telinganya rapat-rapat kemudian berseri melihat Makdum yang menjatuhkan duduknya. Sungguh perdebatan yang tak berujung, pikirnya.
Rasanya tanpa perlu bertanya pun Makdum sudah mendapat jawaban. Memang begitu dan selalu begitu. Membuat perut mual saja. Menyebalkan.
“Adaw, Makdum!!” bentak Rosa terkaget-kaget sekaligus nyeri saat kepalanya diketuk sebuah kotak pensil. Untung kerudungnya tidak diacak-acak seperti kemarin.
“Aku mau tau, kamu bakal ngapain kalo aku nggak ada di sini?”
Sedari dulu Rosa mencoba sabar dengan sikap kekanak-kanakkan Makdum, dengan segelintir kalimat-kalimat aneh yang muncul tiba-tiba dan dengan mimiknya yang sukar ditebak. Kali ini berbeda, begitu mudah untuk dijawab. Rosa sudah tentu akan menangis jika sahabatnya pergi atau bahkan tiada. Namun ia tak yakin dan teramat susah untuk mencurahkan apa yang dikatakan mulut hatinya. Maka, Rosa berpura-pura sibuk membaca.
Tangan Makdum merenggut novel yang ditekuni Rosa. Ia paling tidak suka jika suaranya tidak didengar. “Untuk pertama kalinya aku butuh jawaban kamu.”
“Plis deh, jangan buat aku muak dengan kalimat itu!!”
Muak. Ternyata soal-soal yang selama ini ditanyakannya memuakkan. Makdum merasa takut untuk bertanya lagi. Takut untuk membuat seseorang benar-benar muak terhadapnya. Bahkan kalau perlu ia ingin dibisukan saja untuk selamanya.
***
Suatu siang, Rosa menyusuri koridor menuju perpustakaan. Kelas hari itu begitu membosankan sehingga ia malas belajar. Di bangku panjang ia melihat seseorang berseragam lusuh dengan atribut yang mengelupas lebar sedang terduduk. Wajahnya bersembunyi dalam apitan kedua lengannya. Ah, mungkin orang itu sedang tidur.
Tanpa bermaksud mengganggu, Rosa duduk di depannya dengan beberapa buku bacaan. Memandang lurus. Memastikan apakah orang itu benar-benar tidur atau..
MENANGIS. Orang itu sedang terisak dan Rosa tahu siapa itu.
“Makdum?”
Sebuah kepala menoleh dan mendapati Rosa yang melongo parah. Rosa ternganga bukan karena sadar siapa melainkan terkejut melihat wajahnya. Orang itu bagai zombie yang hanya bisa bernafas. Mata sayu itu berubah bengkak, ada cairan bening menyesak di sana. Rambut yang membingkai setiap inci batok kepalanya tampak acak. Bibir basah itu berubah kering. Dan kulitnya pucat.
“Kenapa?” tanya Rosa kemudian.
Makdum menggeleng dan menyembunyikan kepalanya lagi, tak mau diganggu. Rosa menghilang ke balik pintu dan kembali lagi dengan menggenggam sebotol air mineral.
“Kayaknya kamu sakit,” kata Rosa khawatir lalu menyodorkan botol itu. “Minumlah!”
Makdum berkerut. Tak mau berkata tidak, botol itu ditepisnya hingga jatuh menggelinding ke pojokan.
“Sungguh aku benci,” ujar Rosa di antara kekesalannya.
Makdum mengangkat wajahnya.
“Aku benci dengan sikap kamu, dari dulu sampai sekarang,” kata-kata ini membuat Makdum tak tahan untuk berlama-lama membisu.
“Bukan cuma benci, kan?” suara Makdum bergeletar hambar. “Kamu bahkan menyuruh teman-teman di kelas untuk menjauh dan membenciku, kamu nggak suka aku punya teman, kamu nggak mau dikalahkan, kamu benar-benar menyebalkan, ya?”
“Maksud kamu apa?!”
“Jangan pura-pura bego,” hidung Makdum mengembang, mengambil nafas kuat-kuat di udara. “Kamu nggak ngerti aku, cowok malang yang nggak pernah dapet perhatian, ya itu aku, Apa kamu bener-bener nggak ngerti, Ros?”
Rosa memang tak mengerti. Kalimat itu begitu berat dan misterius.
“Sungguh aku benci kamu,” Makdum menirukan gaya Rosa yang berkata demikian sebelumnya. Menggertakkan kedua ruas gigi di mulutnya lalu terkekeh penuh arti.
“Kalo kamu mengira mereka menjauh itu bukan salahku. Cobalah berubah dan bersikap layaknya pria dewasa.”
“Cukup, nggak usah diteruskan,” nadanya meninggi.
“Dan bukan masalah buatku untuk dibenci seseorang sepertimu.”
"Keluarlah!” Makdum tak bisa membendung kesal. Urat nadi merelief ngeri di lehernya. Amarahnya menggelegak saat melihat kecantikan Rosa. Makdum berdiri dan menunjuk pintu. Bagai singa kehilangan mangsa, ia menyeringai. “Keluar, atau aku yang keluar, hah?!”
Petugas perpustakaan yang semenjak tadi melihat pertikaian itu kini memberi isyarat terhadap mereka. Rosa bisa melihat petugas itu mengedikkan kepalanya. Dan Rosa mengalah untuk mengeluarkan diri. Keluar dari tempat pengap yang memuakkan.
***
Dari hari ke hari, perubahan drastis mencuat di wajah Makdum. Ia lebih sering tertawa lepas dan berbaur dengan teman sekelas. Entah kenapa, hanya dirinya yang tahu. Tak ada yang merusuh. Tak ada lagi pertanyaan aneh saat presentasi, berkata pun hanya seperlunya. Barisan putih di balik mulut basahnya kini menyembul. Cengiran untuk dunia. Cengiran untuk Rosa. Ia lebih senang menunjukkan keceriaannya dengan tersenyum.
Hari-hari yang penuh dengan senyuman mengingatkan Makdum akan ayahnya dan kota Surabaya. Mengingatkannya untuk segera berkemas. Sebentar lagi hanya ada seuntai kenangan untuk sekolah ini, kelas ini dan Rosa. Senyum itu bukan menandakan kebahagiaannya akan pindah sekolah. Melainkan senyum tulus yang tak akan lagi disembunyikannya.
Makdum heran, Rosa masih saja tak peduli, dan memandang dirinya sebagai angin lalu, begitu tak berarti. Kini Makdum hanya bisa bertanya pada segumpal darah dalam rongga dadanya. Mungkinkah Rosa berpaling karena tragedi di perpustakaan? Sungguh Makdum menyesal telah berpikir yang tidak-tidak tentang Rosa dan teman-temannya.
Hari pelepasan memang hari paling menyakitkan sedunia. Hari banjir air mata. Makdum merasakan waktu yang beringsut berdenyut, dan cahaya mengusapnya lembut. Segalanya terasa lebih pekat dan hangat, seperti ada yang memeluknya, menyelimutinya dengan ketegaran. Tapi ia tak bisa setegar ilalang. Adalah hal sulit untuk berpisah dengan mereka yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya.
Gitar dengan senar keemasan yang merentang itu dipetiknya. Sebuah Kisah Klasik - Sheila On 7 mengalun syahdu, lagu yang mengartikan hari ini bukanlah saat-saat terakhirnya. Meski dengan suara fals, Makdum yakin Rosa mendengarnya seksama di balik buku tebalnya. Makdum yakin ada hari lain selain hari ini. Ada hari lain untuk menebus salahnya karena waktu tak pernah curang.
♫ ♫ Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah
Karna hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karna waktu ini yang 'kan kita banggakan di hari tua
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
S'moga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Kar'na hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti...
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian
Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian ♫ ♫
***
“Aku nggak mau selamanya di Surabaya, nanti juga balik, hatiku ketinggalan..” SMS ini sengaja dibacakan Pak Irsan, guru seni yang juga menyayangkan Makdum sudah bukan lagi siswa di kelas hebat itu. Ibu jarinya kemudian berdansa di atas keypad, membalas pesan masuk.
Seisi kelas berdecak kagum. Ya, dari dulu Makdum memang memiliki sense of romance. Namun selama ini mereka menganggap kata-kata Makdum adalah sesuatu yang mengerikan.
Kelas Asterivius mengharu biru. Rosa membiarkan sesuatu mengalir dari sudut kedua matanya. Teringat akan betapa bodoh dirinya, saat ia enggan memperhatikan Makdum yang melambai-lambaikankan tangannya, saat Makdum berusaha berubah.
Air matanya semakin berurai. Foto itu, foto-foto itu tercecer dalam loker yang tidak dikunci. Di antara banyak foto terselip sebuah foto usang dengan latar belakang Taman Permai. Di bagian putihnya tercatat tulisan jelek naik turun yang memudar. Tulisan Makdum saat ia masih belajar aksara.
MaaV ya Ro5A, akU JAhat UdAh LemVaR uLet ke kAmu. maduM sayA6N ro5A
Pedih rasanya jika sedang mengais masa lalu. Tinta merah yang dilihatnya menjadi semakin pudar oleh titik-titik air mata. Bangku yang beberapa waktu lalu bercicit kini mematung sendiri dalam sunyi. Hanya ada bayang-bayang kenakalan yang melintas-lintas di bangku itu.
Benar, Tuhan memberikan manusia seratus rasa kebencian dan seribu cinta. Rosa memang pernah bersumpah akan membenci Makdum selama hidupnya. Sekarang ia tak bisa menyangkal, Makdum tak pantas untuk dibenci. Dan suara parau itu tak tergantikan.
Rosa merapat pada tembok keratan biru lantas memerosotkan dirinya perlahan. Kata-kata Makdum menggelagut dalam gelembung kerinduan, melayang-layang terbang serupa senandung sapaan. Diremasnya foto usang itu di depan dada. Sekarang ia tahu dimana hati Makdum tertinggal dan hati siapa yang kehilangan suara parau.
Suara parau itu pergi. Hatinya tertinggal di sini.
Mungkinkah?
Teruntuk "Sahabat dengan pertanyaan manis"
di Surabaya
0 comments:
Post a Comment
Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!