Kart's

Daily Notes

Rahasia Kecil Persahabatan

4 comments
Selesai berjuang mengingat-ngingat hafalan biologi yang luntur dalam hitungan hari, aku keluar dari kursiku, menenggak sebotol air mineral dan melepas pandangku dari senyum mengerikan itu--satu-satunya senyum di muka bumi ini yang hanya dimiliki oleh Pak Edi. Lega rasanya bisa lulus tes lisan biologi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tak kalah mengerikan dari senyumnya. Hanya satu yang bisa mengubah senyumnya menjadi lucu. Ialah dengan menangis. Malah, beberapa temanku bisa lulus sebelum dites, hanya karena menangis. Maka, menangislah.. untuk bisa menyaksikan Pak Edi tersenyum lucu.

"Alhamdulillah," aku menghela nafas. Baru saja berniat akan duduk untuk rehat sejenak, helaan nafasku terhenti. Kulirik Enna dan Novi saling berpelukan di sudut ruang, di balik punggung para peserta tes lisan. Air mata mereka tumpah seperti hujan di bulan Juni ini yang kian membikin resah. Tak jauh dari mereka, Yogi memetik gitar dengan tatapan lurus ke arah Muthia sambil tersipu-sipu. Sementara Asep melantunkan lagu, sebuah lagu yang falset dan ambisius. Ingar bingar suara Asep yang kejar-kejaran dengan petikan gitar terdengar sampai betisku bergetar-getar. Di sudut lain, Icha nampak sedang berdialog dengan tembok, menekurkan kening ke tembok, dan sesenggukan sambil sesekali menyeka hidung.

Ada apa dengan mereka?


Aku merasakan dingin itu. Bukan karena udara yang berembus melalui AC. Udara di ruangan ini serasa hampa meski AC tetap menyala. Betapa hampa kurasa saat teman-temanku menyibukkan dirinya, sedang aku tak tahu harus apa. Aku hanya takut kalau-kalau keretakan terjadi dalam pertemanan kami.

Begitu kuhampiri..

"Icha?" panggilku sambil menyentuh bahunya yang agak berguncang. Icha mengangkat kepalanya sedikit, hingga aku bisa leluasa melihat kabel headset terjuntai dari kedua telinganya serta ingus yang tampak mengalir deras dari kedua lubang hidung. Wajahnya lebih mirip kuntilanak yang kutonton tadi malam lewat televisi. Pucat pasi.

"Kenapa?" tanyaku heran. "Nggak biasanya kamu begini, Cha.."
"Aku cuma sakit pilek," jawabnya dengan suara pendek dan agak tersendat, membuatku berkerut.

Apakah benar cuma sakit pilek? Apakah benar kamu bukan sedang galau? Tetapi seperti katamu, aku harus memercayaimu. Seperti katamu, aku tak boleh resah. Dan seperti katamu, sakit pilek adalah penyakit memalukan yang pernah ada. Aku percaya padamu. Bagiku, kata-katamu itu adalah perintah untuk tidak bertanya lagi.

Dari kejauhan, sekilas kulihat Enna dan Novi masih berpelukan, dikitari oleh beberapa teman yang kebetulan menjadi penengah: Fathya, Maryam, Eli, Ayu, Ura dan Nida. Jemari mereka bertautkan sehelai tissue. Apa mereka ikut-ikutan sakit pilek? Aku bertanya-tanya. Sementara aku masih bingung, Icha menghambur dan memeluk mereka erat. Mereka, yang ternyata sedang dalam ketegangan, telah sama-sama berterus terang. Tak ada rahasia lagi, katanya. Tak perlu mencari tempat untuk sembunyi. Lalu, rahasia apa?


Bercerita tentang apa yang dilakukan Draco terhadap Novi, Enna menangis sejadi-jadinya. Keharuan pecah dalam sebuah ruangan berdinding biru. Terik telah mematangkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menangis juga. Rambut matahari tergerai di luar sana. Dari cahayanya yang terang menerebas kaca jendela dan kadang menyilaukan mata, aku tahu ia ingin menjadi saksi tentang pertemanan yang sesungguhnya. Ia selalu menimbulkan gerah, tetapi air mata kita telah membekukan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Dada kita tak jauh beda.



Biar masalah benar-benar bisa terselesaikan, kami memanggil Muthia yang sedang santai-santainya membaca buku paket biologi. Tampak dari mulutnya yang setengah terkatup, aku tahu mungkin ia baru saja merafalkan bahasa latin. Muthia menengok kemudian beranjak dari kursi. Seakan ditunggu-tunggu kehadirannya, ia segera bertanya, "Ada apa, hei?"

Santi pun menyela, "Muth, kamu pemeran utamanya di sini. Duduk dulu!"

"HAH? Pemeran utama apa nggak ngerti.."

Iya, Muth. Kamu memang pemeran utama. Meski masalah tak sepenuhnya bersumber dari kamu, tapi memang benar kamu harus ikut andil dalam memecahkan masalah ini.


"Muthia.." ujar Novi lirih.

"EH, NOVI KENAPA NANGIS?" Ia terlonjak. Mungkin kaget. Mungkin tak mengerti. Mungkin pura-pura tak mengerti. Mungkin, hanya Tuhan dan Muthia yang tahu.

"Muthia, ternyata mereka salah paham sama kita."

"Salah paham? Maksudnya apa? Aku nggak ngerti."

"Isssh teu ngarti cenah.." bisik Ayu sambil menepuk-nepuk dahi, ditampali gelak tawa Eli yang segera menyibukkan jempol di atas keypad ponselnya. Muthia memandang kami satu persatu. Kontan saja kami diam. Beberapa detik berikutnya, kami baru bisa mempersilakan Novi angkat bicara.

"Kita sebenernya nggak bermaksud ngejauh, kan Muth? Aku sama kamu ngelakuin itu karena mereka nggak mau kita ajak. Ayo, Muth! Jelasin sesuatu!" Kali ini Novi berkata dengan nada yang sungguh memohon.

Namun Muthia masih kaget, mungkin. Tak mengerti, mungkin. Pura-pura tak mengerti, mungkin. Bisa jadi. Lantas ia hanya bisa angkat bahu serta angkat pantat menyambut permintaan Novi, "Jelasin apa?" dan sekali lagi mengedarkan mata dengan pandangan yang sama, "Kenapa kalian pada nangis?"

Enna akhirnya menjelaskan, "Muth, jadi gini ya... aku tuh kesel sama kalian. Apa-apa berduaaa terusss.. Kenapa sih? Kalo ada cerita ya cerita dong! Aku kan temen kamu. Masalah Draco aja, aku suka cerita sama kamu. Kamu juga tahu kan aku suka sama Draco? Tapi kamu malah condong ke Novi."

"Condong gimana ini teh?"

"Kamu tuh kayak yang ngekhianatin aku. Coba deh pikir! Orang yang pertama tahu tentang Draco tuh kamu. Tapi kamu malah.... aahhh... sudahlah, San.. san... kamu aja yang ngejelasin! Cape aingah!"

"Muthia, maksud Enna, kalo ada yang musti diceritain ya ceritain aja.. cerita apa pun, cerita kamu sama Rudolf, misalnya.. terbuka gitu ke kita. Jangan sampe kita tahu dari orang lain! Lebih sakit hati kan kalau tahu dari orang lain tapi kamu belum ngasih tahu? Nah, kita nggak tahu apa-apa. Selama ini kamu sama Novi tuh kayak yang punya rahasia tapi ngejauhin kita. Iya, kan, hei?"

Fathya menimpali, "Sok ayeuna, ayeuna, kalo misalkeun aku sama Icha wasweswos wasweswos... Tapi pas Muthia dateng, tiba-tiba kita bilang, 'Udahan ah! Udahan. Ada Muthia..' terus kita pergi aja ninggalin kamu. Sakit hati nggak kalo digituin?"

"Nggak ngerti," jawab Muthia pendek, membuat senyum ramah Fathya sirna dalam sekejap.
 
"Sabar ya, Fath!"
"Iya, Yu! Kudu sabar..."

Dengan kesal, Icha memberi penerangan lebih lanjut, "Sadar nggak sih, kalian tuh misah dari kita? Apa-apa duluan. Kemana-mana berdua. Aku lewat aja nggak ditanya. Biasanya kan nggak gitu. Biasanya juga suka nyapa, suka cerita... tapi sekarang main rahasia-rahasiaan. Inget pepatah, rek sakumaha nyumputkeun bangke ge, eh apa teh apa teh..."

"Sepandai-pandainya nyembunyiin bangke tetep kecium juga," koreksi Santi sambil menahan tangan untuk tak menoyor kepala Icha.

"Iya! Tah kitu!"
 
"Muth. Aku sedih kalian gitu. Aku kesel. Awalnya aku emang simpati sama kalian, tapi da kaliannya main belakang."

"Nggak.. ih bukan maksud aku buat kayak gitu."

"Hei, plis ih! Jangan salahin Muthia. Ini semua aku yang salah. AKU!! SEMUANYA AKU YANG SALAH!!" Novi mengaum persis seperti singa kehilangan mangsa. Sementara Enna tetap pada pendiriannya.

"Tapi kan, Nov. Dia mah... "

Secara tiba-tiba Muthia melempar tissue, melempar pulpen, melempar air matanya untuk keluar, "JADI KALIAN KESEL KE AKU? JADI INI SEMUA SALAH AKU?!"

"Itih.. itih... itih...."
"Huahahahhaa."

Udah bisa ditebak siapa yang ngeledek dan siapa yang ketawa: Ayu dan Eli.


"MAAF!"

"Bukan kamu yang salah, Muth!"

"Kalian salah. Kalian tuh kayak yang nyembunyiin rahasia dari aku, dari semuanya."

"Aku sama Novi nggak bermaksud gitu, Na..."

"Nggak bermaksud gimana? Kalian nggak cerita apa-apa ke kita... tapi jebred dina hape aya foto kalian waktu di puncak. Kan kita jadi nanya-nanya kunaon kitu meuni henteu cerita-cerita?" tangkis Icha dengan bibir bergetar. Ia baru saja menyalak.

"Si Iam deuih, nyaho teh lain dibejakeun!"

"Ih bayangin dong! Aku di posisi sulit, Enna! Daripada mempersulit masalah.. lebih baik diem deh," Maryam membela diri ketika disembur Enna, membuat Novi tak nyaman di tempat duduknya.

"Maaf, Na! Aku minta maaf banget. Iya, aku bodoh. Maaf! Aku nggak bisa mengumbar-ngumbar cerita aku ke semua orang yang ada di kelas ini tapi aku juga nggak bisa nanggung sendiri, ya jadi... maaf ya.. cuma orang-orang tertentu aja yang aku kasih tau. Maaf banget! Aku ngasih taunya ke Muthia doang soalnya Muthia yang paling ngerti aku. Maaf!"

"Nov, maafnya sekali aja bisa kali. Entar yang ada kita malah kesel, bukannya maafin kamu!"

"ETA PISAAAAAAAAAAAAAN, YU!!" kami berteriak kompak.

"Atuh bayangin dari tadi maaf-maafan terus, siapa yang nggak kesel coba?!!"


Eli berdeham, kemudian melanjutkan saat hening tercipta, "Nah, sekarang Enna udah tau kan Novi tuh emang orangnya kayak gini? Dan kita nggak bisa nyalahin Novi... Setiap orang punya privasinya masing-masing. Novi nggak bisa cerita, Novi nggak bisa terbuka, oke. Tapi kan sekarang Enna udah tahu ceritanya. Sebaiknya Enna bisa terima karena bagaimana pun Novi udah minta maaf, dan Novi ngakuin kesalahannya."

Kata-kata Eli bersinaran laksana kembang api yang membuncah di malam tahun baru. Kami pun terpesona, "Weis, Dede!"

"Hehehehe.."

"Enna belum tau semua ceritanya. Di puncak ngapain aja sih?"

"Wuuu... nangis! Nangis!! Nunung nangis!!!" ejek Ura sambil berdiri, menjauh.

"Gandeng, Sule!"

"Loh? Kenapa Sule?" tanya Muthia.

"Kan pesek idung si Ura."

"HUAHAHAHAAA..."

"Jahat banget!" Ura meringis dan menggesek-gesek hidungnya dengan punggung telunjuk.

Novi memulai ceritanya dari nol dengan berurai air mata. Sementara, kami hanya bisa duduk di samping Pak Kusir untuk mendengarkan sambil mengangguk-ngangguk. Memang, terbuka itu nyaman. Memang, tak ada yang perlu dirahasiakan dari sahabat-sahabat kita tatkala mereka bisa dipercaya. Sebaliknya, hidup akan serasa lebih berwarna kalau kita memberikan kepercayaan kepada mereka.

"Yaudah, yaudah, yaudah.. Gini deh, Enna maafin Novi nggak?" Eli tampak ingin cepat-cepat menyelesaikannya dengan kepala dingin.

"Nggak apa apa... Enna sih nggak masalah ya kalo misalkan Novi sampe jadian sama Draco, tapi Enna pengennya mereka nggak 'nunjukin' di depan Enna."

"Wuh, tah eta, Na!" Icha mengacungkan kedua jempolnya tinggi-tinggi.

"Loh siapa yang jadian sih?"

"Misalkan, Nov. MISALKAN!"

"Oh, berarti Enna maafin Novi?"

"Iya."

"Enna maafin Muthia nggak?"

"Nggak..."

"Nggak?"

"Nggak tahu!"

"Kenapa?"

"Ya abis, si Muthia ngeselin!"

"Ih, Enna maaf........"

"Apa yang harus Muthia lakuin biar Enna maafin dia?" Eli kembali menenangkan.

"Ya bersikap kayak dulu lah, nggak munafik!"

"Emang aku munafik, ya?"

"Iya!!! Kamu barengan terus sama Novi, sedangkan kamu tahu dong.. aku suka cerita apa-apa sama kamu. Makanya aku sama Santi suka bilang 'sahabat sejati'. Itu sebenernya nyindir."

"Oh jadi yang bilang sahabat sejati itu nyindir? Kok aku nggak tahu ya?" Novi garuk-garuk kepala.

"Yaelah, Nov!"

"Ih, maaf ya! Aku kadang nggak paham kalo disindir-sindir.. Kalo aku salah, tegur langsung aja, ya teman-teman? Maaf!"

"Maaf lagi?" Ayu terkekeh, "Capedeh!"

"Aku nggak tahu masalahnya bisa sampai serumit ini. Aku nggak tahu kalian bisa sampai segitunya kesel sama aku. Tapi aku pengen berubah, Cha, Enna, San.. aku pengen berubah. Aku pengen jadi pendiem."

"WAAAAAA, Muthi! Sama!!!" Icha menyela, "Aku juga lagi pengen diem, tapi gak bisa."

"Iya, Cha! Aku pengen berubah."

"Tapi tapi kan... Ramean Muthia yang dulu, yang TOA.. yang heboh, yang riweuh.. Iya nggak sih?"

"IYAAAAAAAAAAAAA!!!!!" sahut kami setuju.

"Kita semua kangen sama TOA-nya Muthia. Ini B7, Muth! Kamu harus jadi diri sendiri di sini! Lihat, si Ayu yang segini galaknya, suka ceplas-ceplos, da kalo nggak ada si Ayu mah nggak rame atuh.... coba bayangin!"

"Iya, da, Cha, aku teh pusing. Aku lebih baik--"

"Muth, virus pemakan bakteri apa?" celetuk Ayu dengan agak berbisik. Melalui Muthia yang tahu banyak soal alam dan makhluk hidup, Ayu mungkin ingin mencoba berbaik hati kepada mereka yang sedang menghadapi tes lisan: memberi contekan. "Apa ih? Virus pemakan bakteri?"

"Oh! Bakteriofag!"

"Masya?"

"Masya apa?"

"Masya Bu Uum. Berat sama dengan 2 kilo."

"Apasih nggak ngerti?"

"Bakteriofag, bener?"

"Iya ah kalo nggak salah. Bakteriofag kan merupakan partikel yang menyebabkan sel bakteri pecah," jawab
Muthia antusias.

"Gitu ya, Muth?"

"He-eh.. Bakteriofag!"

"Dadang, bakteriofag kata si Muthia mah!" Ayu berpaling pada Dadang.

"Maafin aku ya! Aku salah! Maafin aku! MAAF!!!!" Novi menghambur dan memeluk kami satu persatu. Serta merta kami berpelukan layaknya Teletubies sedang merayakan lebaran.

"HUAAAAAAAAAAAAAAA....... KALIAN!!!!"

"Huachhhhhhiimmmm!!!!!"

"Ih, Icha, geleuh!! Muncrat!!!"

"INGUSNYA! HUAHAHA."



#hujan-air-mata sekaligus #hujan-ingus
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

4 comments:

  1. kompak banget ya dik, jaga terus persahabatannya ya.. semoga bisa terus bertahan sampai tua kelak.

    salam persohiblogan ^_^

    ReplyDelete
  2. wah.. gila..
    ingat sma lagi

    katanya masa putih abu abu itu masa yang palng seru.
    banyak hal dan kenangan yang sulit dilupakan..

    selamat menikmati masa putih abu abunya..

    ReplyDelete
  3. hehehe indahnya persahabatan kalian,,,jadi ngiri nih...hehehehe

    ReplyDelete
  4. sumpah g paham ceritanya tuh gimana, xixixixi

    ReplyDelete

Pengen permen? Ngomen dulu, mamen!