"Tegur aku, Kart!
Tegur aku sekiranya aku terlalu egois buat kamu!"
Ah, aku tidak berani membenarkan kamu egois meski sebenarnya kamu memang egois.
Seandainya kamu tahu, keegoisanmu tak ubahnya lensa pada kacamata yang kau kenakan itu.
Selalu jujur: yang baik kau katakan baik dan yang buruk kau katakan buruk agar dinilai sebagai orang jujur,
tanpa mempedulikan hati mereka yang tercabik-cabik karena hunusan kejujuranmu.
Selalu berkeinginan melihat jelas apa yang semestinya tidak kau lihat, yang silau sekalipun.
Selalu fokus pada matahari meski semua orang bilang matamu akan buta karenanya.
Kau tahu ada surga di balik matahari itu tetapi kau tak mau orang lain tahu. Egois? Sangat.
Hei! Terkadang matahari yang kau tatap membikin kamu terbakar rasa iri, "Sungguh terang dia kelihatannya. Lalu, kenapa aku begitu gelap?" diam-diam kau bertanya, "Pantaskah aku ke sana? Sedangkan aku cacat."
Dengar! Secacat apa pun rupamu, seegois apa pun kamu, itu sama sekali tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kamu kecewa dengan dirimu sendri. Setelah mengingat kenangan indah bersamanya, kamu bicara pahit padaku seolah-olah akan mati besok. Setelah berdebat dengan mamamu tadi malam, kamu bicara padaku seolah-olah tidak ingin dilahirkan. Aku marah! Terang saja.
Kalau kamu tidak dilahirkan, bagaimana aku bisa bertahan di kelas IPA 7? Bagaimana tulisan ini akan sampai? Apakah aku menulis bukan untuk siapa-siapa?
Lalu, bagaimana dengan orang tuamu? Apa mereka bisa tetap tegar ditinggalkan? Kepada siapa mereka menaruh kepercayaan kalau bukan kepadamu? Tidak lucu rasanya hidup tanpa si bungsu yang tumbuh seperti sekarang dan menjadi dokter nantinya. Bayangkan ketika mereka merindukan seseorang yang tidak jadi lahir ke dunia! Bayangkan betapa menyesalnya mereka kalau telah menyia-nyiakan amanah Tuhan! Bayangkan betapa egoisnya kamu kalau tak mau membayangkan itu!
Temanku, betapa pun egoisnya kamu, kuakui, keegoisanku ternyata melebihimu. Aku ingin bilang, "Aku butuh kacamatamu!" di saat aku tahu kamu sendiri butuh. Kuambil kacamatamu yang kau sodorkan, kemudian kukenakan sambil tersenyum-senyum. Semuanya tampak begitu jelas: diriku, dirimu, ternyata begitu beda. Tapi lalu kacamata itu jatuh, dan.. pecah. Pecahan kaca tajam yang belum sempat kurapikan menusuk mataku hingga aku kepayahan untuk melihatmu.
Aku ingin bilang, "Aku butuh matamu" di saat aku tahu matamu sendiri minus setengah. Aku butuh matamu untuk melihat keegoisanku. Aku butuh sudut pandangmu untuk memperbaiki sesuatu yang aku keliru. Aku butuh semuanya yang ada padamu.
Jangan kira kau egois hanya karena selalu membutuhkanku! Justru, alasan mengapa aku bisa sampai menyanggupi kebutuhanmu ialah karena aku butuh kamu. Jadi siapa sebenernya yang egois?
Siapa? Mari kita bercermin pada pecahan kacamata itu. Dan lihat nanti, siapa yang paling egois di antara kita? KAU atau AKU?
wah benar sekali tuh,,kita harus bercermin pada orang lain jangan bercermin pada diri sendiri,,karena tidak ada manusia yang sempurna kecuali kita bisa mengambil hikmah dalam setiap kejadian
ReplyDeletesukaaa,,,
ReplyDeleteterkadang keegoisan bukan karena ingin mengenyahkan..melaikan karena kebutuhan yg dalam dan memenjarakan..^^
nice post...keep writing ya,,
aku tunggu jejaknya di blog aku...^^