Kart's

Daily Notes

Kali ini saya ingin mengutip selintas perkataan Rachman Ajib Barru Adam yang mirip fragmen sebuah novel.


"Di Jalan Sangkuriang, ketika siang, di dekat pertigaan yang tengahnya berdiri tanaman yang dipotong membentuk gajah (tapi karena tak terawat akhirnya lebih terlihat seperti gajah cacat).
Di sekitar sana sering terlihat seorang bapak berambut gondrong. Kumis dan jenggotnya tebal dan terlihat amat kaku. Kaos dan celananya kumal. Hanya melihatnya saja kau langsung tahu dia belum mandi selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Siang kemarin, aku melihatnya di pinggir jalan, ia membawa karung besar dan plastik merah besar, kemungkinan berisi istana lipatnya. Sambil terduduk ia memandangi jalan, memperhatikan kendaraan berseliweran dan orang-orang yang berjalan. Di tangannya kertas, dan sesekali ia tengadah ke langit lalu menggerakkan bulpen.
Dia menulis."


Saya tidak akan mengulas bagaimana tulisan lelaki berambut gondrong. Saya hanya ingin mengomentari pencipta tokoh tersebut yang juga berambut gondrong.

Rachman memang adik tingkat saya tapi saya menganggap ia sebagai Murakami muda karena daftar bacaannya yang panjang sekali. Banyak judul buku dari dalam negeri maupun mancanegara yang dia sebutkan beserta kasus-kasus yang membetotnya. Demikianlah, saya selalu iri dengan orang-orang seperti itu: menjadikan aktivitas membaca bukan di waktu sisa.

Kebanyakan orang yang terlalu sibuk membaca jadi sembrono dalam menulis. Tapi Rachman tidak. Ia bahkan mampu menganalisis jauh melampaui kritikus. Saya acapkali memberikan tulisan saya untuk sekadar dia tanggapi. Alasannya objektivitas: menjatuhkan untuk membangun. Saya tidak sedang mengada-ngada. Saya yakin dia akan jadi orang besar. Tapi saya juga yakin bahwa pujian saya barusan adalah tahi kucing baginya. Rachman tidak suka bau tahi kucing.

Sekarang tanyalah orang-orang yang menurutmu sudah besar dan menyingkirkan istana lipatnya. Menjadi orang besar sungguh sangat merepotkan, bukan? Banyak orang di belakang mereka yang mengantre dan memohon-mohon supaya diapresiasi seperti kutu rambut yang membikin gatal sekali itu. Orang besar juga akan melihat siapa pun sebagai saingan sehingga ia tampak menjadi tokoh utama dalam kegemilangannya, yang lain berperan sebagai figuran alias pembantu. 

Lagipula orang besar sesungguhnya bukan orang dengan nama dan gelar yang besar, melainkan orang yang mampu membesarkan.

Atas nama kebebasan, kita seringkali bertindak sesuka hati. Memerdekakan hidup dengan menganggap kitab suci itu jebakan dan agama adalah penjara dan Tuhan tidak lebih dari sipir yang menyebalkan. Apa susahnya menampar sipir itu lalu kabur? Seperti saat kita haus sekaligus stres lalu menyambar sebotol bir di kleb. Seperti saat kita lapar sekaligus penasaran lalu mencuri diam-diam brankas negara. Seperti saat kita gerah lalu membuka aurat. Seperti saat kita lelah dan ingin bertambah lelah lalu masuk ke panti pijat plus-plus. Seperti saat muncul sebuah isu, tentu kita pandang sebagai hal yang lumrah, disenjatai oleh embel-embel Hak Asasi Manusia, toleransi, kebebasan pendapat. Kita ingin menghirup udara sebebas-bebasnya sebagaimana tahanan yang sudah lama membusuk di sel bertahun-tahun.

Kita menarik diri sebagai warga sipil karena muak dengan birokrasi pemerintah. Kita melepaskan diri dari lembaga pendidikan karena bosan belajar. Kita menantang bos karena tidak suka dijajah untuk bekerja. Kita mencoret nama kita dari kartu keluarga karena tidak tahan dengan dinamika rumah tangga. Kita, manusia, sejak lahir bertubrukan dengan banyak masalah yang kita besar-besarkan, diikat oleh banyak pihak untuk melakukan apa yang tidak kita mau, tapi kita seolah mampu menyelesaikannya sendiri. Zarathustra pernah mengatakan kalau banyak orang tidak mampu membebaskan dirinya sendiri dari belenggunya sedangkan dia itu pembebas bagi orang lain.

Kebebasan adalah satu-satunya nikmat Tuhan yang tidak dimiliki makhluk lain kecuali manusia. Kita bisa bebas tentu saja. Namun jangan lupa, di luar ventilasi rumah tahanan ini, hanya ada sekawanan nafsu yang dikemas manis seperti cokelat-cokelat pajangan minimarket. Dan jika kita melangkah ke sana berarti kita sedang menjemput belenggu baru. Tuhan tidak mau itu.

Serahkan dirimu pada sipir itu, Kawan. Dan mari bertemu untuk mencari makna kebebasan yang sesungguhnya. Sebab seperti yang dikatakan Zarathustra, solusi masalahku bisa jadi ada padamu dan solusi masalahmu ada dalam genggamanku. Kalau kau membayarku dengan tebusan yang mahal dan menjemputku untuk keluar dari rumah tahanan ini, maaf, aku tidak akan ikut. Aku bahagia ditahan Tuhan untuk bisa bebas dari tangkapan setan.

Bagaimana ujianmu hari ini, Dik? Lancar? Maaf, Kakak baru berkabar. Kakak juga sedang berdebar menempuh sidang skripsi. Berharap semuanya segera berakhir tetapi ujian sampai kapan pun tidak akan pernah berakhir, bukan? Ujian akhir itu omong kosong. Kita selalu diuji.

Ada sedikit kekhawatiran kalau kau akan ngotot mempertahankan kejujuran di situasi sulit. Padahal, sepengalaman Kakak, orang-orang jujur justru lebih banyak menjemput kekecewaan, misalnya gagal lulus ujian dan dianggap sebagai sampah masyarakat. Parahnya lagi, jika kejujuran itu dipertahankan sampai mati, ada yang di-PHK oleh bos perusahaan tempat bekerja, terjebak di penjara karena membongkar kasus korupsi dan prostitusi. Ini serius.

Kejujuran merupakan resep menuju jalan berliku lagi sukar. Sebagai Kakak yang baik, tentu yang kuinginkan adalah kau, adikku, lulus Ujian Nasional dengan mulus. Memang keluarga kita bukan termasuk orang-orang yang peduli amat terhadap pendidikan. Sebab justru mereka yang terdidik di rumah malah melupakan kampung halamannya dan betah mengumpulkan kolega di kota. Syukurlah kau bandel, Dik. Tempuhlah pendidikan sebagaimana anak-anak bandel lainnya bersekolah, dapat ijazah, pasangan, jabatan, hingga modal bisnis untuk menipu banyak orang. Jadilah anak yang bandel asal jangan terkutuk.

Tiba-tiba saja ingatan Kakak terlempar pada peristiwa beberapa tahun yang lalu. Sebuah pesan misterius sampai ke ponsel Kakak, sederet kunci jawaban. Tapi segera Kakak hapus. Pesan itu putus di tangan Kakak. Harapan si pengirim adalah pesan itu menjadi virus: menular. Kakak tidak tahu bedanya antara menjadi pahlawan atau penyakit. Dengan sombong Kakak katakan bahwa Kakak bisa mengerjakan soal tanpa bantuan siapa pun. Di hari Senin, dalam pidatonya, Kepala Sekolah memberikan instruksi kepada semua elemen untuk berhati-hati terhadap praktik kebocoran. Semua peserta upacara sontak menyembunyikan tawa. Maksud Kepala Sekolah adalah berhati-hati agar serangan fajar jangan sampai ketahuan. Jangan sampai bocor. Semua mengerti.

Saat itu tangan kanan Kakak patah, sehari sebelumnya memang kecelakaan motor. Sudah kamu saksikan bagaimana Kakak memangku tangan sendiri ke sekolah di hari yang genting sekali itu. Ada banyak polisi di luar kelas, ketat mengawasi. Pesan misterius datang lagi. Kali ini dari pengawas. Tidak tahu diri kalau Kakak tidak mau menerima sesobek pesan itu sedangkan saat itu untuk menulis pun Kakak tidak sanggup. Karena kebetulan menjadi murid andalan di kelas itu, tentu Kakak bisa membandingkan mana jawaban salah dan harus dibantah, mana jawaban benar dan menjadi petunjuk, dan tidak lupa memberi tahu teman sebelah untuk memilih jawaban yang sama. Bukankah berjamaah dalam dosa lebih baik?

Sesobek pesan itu menjadi sebuah kitab suci. Hanya pembuktian, hanya pembuktian, dalih Kakak. Sambil mengulang ‘jampi-jampi harupat’ tersebut, Kakak menengok ke belakang dan menangkap polah para penghuni kelas. Ada yang mengendap-endap di bawah meja untuk mencari penghapus dengan jurus pengelabuan super. Ada juga yang berdesis-desis sambil mengedikkan bangku atau bahu. Bagi kami, lirikan mata adalah isyarat, lambaian tangan dan gerakan jemari sesama adalah suara Tuhan. Kakak hampir memekik melihat monster di mana-mana dalam rupa yang tidak jauh berbeda. Bahkan Kakak melihat monster itu merasuk ke dalam diri Kakak.

Bagaimana kisah di sekolahmu, Adikku? Apakah sama menakutkannya atau justru lebih lucu? Kabarnya ujian kini sudah berbasis komputer, ya? Wah. Keren sekali. Bisakah kau membaca soal sambil mengetikkan kata kunci ‘teknik mencontek paling populer se-dunia’ di internet? Kakak tidak tahu seberapa ketat pengawasmu. Juga tidak semua pengawas sama baiknya dengan pengawas Kakak dulu. Komputer sekolah, robot intolerir itu, tidak mungkin memberikan waktu tambahan.

Teman Kakak hari ini mendapat telepon dari mamanya ketika duduk di ruang tamu. Dia sudah pascasarjana. Agak kaget Kakak melihat dia yang tiba-tiba panik meminjam alat tulis. Dia dimintai bantuan oleh mamanya untuk menyelesaikan soal Fisika. Berkutat dengan kertas-kertas, membolak-balik buku saku berisi rumus-rumus, memasang muka yang kusut dan alis berkerut seolah-olah ekspresi itu menunjukkan poster pengumuman bertuliskan, “Jangan berisik. Sedang Ada Ujian.” Seisi rumah kontrakan lalu mengecilkan volume televisi. Dia sedang tidak ingin diganggu selama beberapa jam untuk menyelesaikan soal adiknya. Ternyata mamanya adalah seorang guru merangkap pengawas. Kubayangkan tadi pagi pengawas itu sedang pura-pura berkeliling kelas padahal memberi kode setelah sebelumnya mengajarkan kisi-kisi alias soal yang sama persis.

Begitu selesai teman Kakak dengan misinya menolong sang adik, Kakak menemukan banyak sekali istilah asing di bekas coretan yang dia gunakan: humadity, asumsi laju alir keluar, slope, flowrate, tout, browdown, air yang hilang tidak terevaporasi, serta berbagai grafik kalang kabut. Kakak menggetok-getok kepala sendiri. Payah! Apakah hal ini pernah kupelajari sebelumnya? Apakah ini? Apakah itu? Mungkinkah karena dulu ujian pun mencontek maka semua pelajaran yang Kakak dapat itu fiktif belaka? Ataukah karena sekarang kuliah di Seni Rupa isi otak Kakak tentang segala aspek zat dan energi dalam sederetan formula menguap menjadi seember cat dan teori warna? Atau jangan-jangan memang ujian berskala nasional itu semakin tahun semakin sulit. Jangan-jangan yang membuat soalnya adalah seorang profesor botak kurang kerjaan.

Tapi kita patut berterimakasih, Dik. Kita patut berterimakasih kepada Bapak Menteri yang merancang proyek besar bernama Ujian Nasional serta berbagai hal yang mengitarinya. Kabar baiknya tes sialan ini bukan satu-satunya penentu kelulusan sekarang. Kabar buruknya soal ujian dipersulit lagi. Sebab bukan ujian namanya kalau gampang, kan? Sulitnya soal-soal ujian begini toh bisa menjadi alasan bagus untuk mencari kemudahan: mencontek. Aha!

Bukan. Itu bukan kecurangan apalagi tindakan kriminal kok. Mencontek itu sebagian dari iman. Taat kepada negara. Ya, supaya kita jadi bangsa yang dinilai pintar oleh bangsa yang lain dengan memamerkan angka kelulusan seratus persen. Kita harus terus melestarikan “Seni Mengintip Jawaban” supaya sah menjadi budaya kita sebelum diklaim bangsa lain. Adikku, zaman sudah semakin canggih. Semua serba cepat dan instan. Pun begitu arus informasi penularan kode ABCD. Sekali cekrek. Jadi kita tidak perlu banyak berpikir. Bahkan usahakan jangan sampai berpikir. Berpikir itu menghabiskan waktu. Kegiatan mencontek-lah yang menjadi pesawat pengantar bagi kita, orang-orang modern pascasejarah.

Sudah kukatakan, mencontek, seperti juga keindahan, merupakan sebagian dari iman. Lalu kenapa ada polisi dan wartawan? Polisi mah kepingin nyari pangkat saja, Dik, dengan menjadi petugas lalu lintas di sekolah. Lihat saja. Mereka paling-paling jadi Patung Selamat Datang di koridor. Adanya wartawan juga bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Mereka paling-paling memberitakan bahwa ada soal cacat alias salah cetak atau ada siswa nyasar alias salah masuk ruangan. Jika pun ada kasus yang berat, paling-paling disogok Badan Pengamanan Sekolah toh supaya bungkam?

Aku tidak akan mengawali catatan ini seperti membuka mata kuliah oleh dosen yang kelewat mikir. Lagipula tidak baik terlalu berpikir tanpa beraksi, bukan?

Agaknya kita semua sepakat bahawa kita sudah dipermainkan bahasa. Pernah suatu kali marak status Tere Liye yang sebenarnya tidak membuatku heran sama sekali lalu paham-paham isme mulai dikemukakan-dijabarkan panjang lebar kali tinggi oleh orang-orang yang paham, sok paham, dan yang jungkir balik berusaha paham buat bisa dikatakan update. Dapat kupahami bahwa bahasa sangat besar pengaruhnya dalam dunia komunikasi. Dan untuk memperkaya bahasa tiada jalan selain membaca.

“Membaca? Kuper sekali!” katamu sengit sambil masih saja stalkingin status facebooknya mantan.

Ah. Kita tidak pernah lagi menyentuh buku-buku kecuali sebelum ujian kelulusan. Kalau kata Taufik Ismail, bangsa Indonesia adalah “Generasi Nol Buku”. Ketika generasi ini muncul ke permukaan bukan berarti toko buku bisa bangkrut loh. Rak buku penuh oleh buku-buku hasil olahan dari dunia maya seperti kumpulan twit, quotes, adaptasi blog. Selain itu tentu yang jadi best-seller adalah buku-buku dari para penulis yang mampu mengumpulkan fans banyak di sosial media. Mungkin memang peradaban sudah beralih ke dunia digital. Ya, meskipun seringkali tulisan-tulisan yang santer menjadi hits adalah yang punya daya jebak di judul.

Aku bersyukur dengan adanya orang-orang seperti Tere Liye. Aku bukan pengagumnya tapi aku sangat mencintai para penulis populer. Bagaimana tidak? Bohong kalau kau ujug-ujug membaca das Capital, Tetrologi Buru, dan seterusnya, tanpa pernah sebelumnya menyukai bacaan-bacaan yang bisa dikatakan ringan. Nah para penulis populer inilah yang mengantarkan kita untuk bisa mengenal susastra. Kadar hiburannya mungkin lebih banyak.

Dan dengan huru-hara kemarin sampai kini anekdot teaser Ada Apa dengan Cinta, aku rasa inilah titik balik bagaimana masyarakat Indonesia bisa punya kuriositas yang lebih terhadap ilmu pengetahuan yang ditawarkan buku, terutama buku-buku sastra. Dan dari sanalah mungkin kita bisa memperluas sedikit demi sedikit sudut pandang kita terhadap bahasa.

“Apa kabarmu?” tanya kawanku suatu waktu.

“Seperti biasanya. Gelisah.”

“Menyedihkan.”

Seorang kakek yang gemar membaca menanyakan hal yang sama dan aku menjawab sama pula, “Gelisah.”

Dia hanya tersenyum dan mengatakan, “Rawatlah kegelisahan itu!”


Lucu sekali ketika aku dilarang seseorang untuk gelisah. Harus tentram seperti batu nisan di atas makam. Padahal gelisah yang aku maksud adalah gelisah terhadap persoalan umat manusia, ini lebay, tapi aku betul-betul pernah memikirkannya. Dan tanpa penjabaran, seakan bahasa bisa ditangkap beragam rupa oleh orang lain yang berbeda. Maka memang bahasa punya kemesteriusan tersendiri tergantung bagaimana intensitas retina seseorang dalam menelanjangi tiap kata yang tercetak di buku.

Kita seringkali terjebak dalam perspektif yang sempit. Misalnya soal kata amatir dan profesional. Seorang penyair pernah menyinggungnya dalam sebuah buku kumpulan esai. Amatir, berasal dari kata amore, artinya cinta. Orang yang amatir melakukan pekerjaannya karena cinta. Sedangkan profesional berasal dari kata profesi artinya bidang pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu untuk mendapatkan upah. Seorang sopir angkot dan seorang direktur perusahaan bisa sama-sama profesional. Seorang penulis puisi pun, kalau ia dapat honor, bisa jadi profesional. Sebaliknya kalau ia hanya senang menulis dan menulis, dia merdeka dalam keamatirannya.

Sebuah kata, meminjam istilah Cak Koe Sam, tidak pernah absolut, selalu ada padanannya. Kecuali Soetardji, tidak ada yang mampu memisahkan kata dari makna. Atau jangan-jangan Tardji melihat fenomena itu. Bahwa terlalu banyak makna dari sebuah kata maka ia hapus saja makna-makna itu dan ia mainkan semaunya semuanya. Kalau Soetardjo, selain mencari cinta juga mencari makna dari cinta itu sendiri. Jangan-jangan memang kebenaran tidak pernah ada. Hanya ada approach to the truth tapi tidak pernah mencapai batasnya.

Kita tahu Muhammad mendapatkan wahyu. Lalu wahyu itu apa? Wahyu itu adalah bagian dari imajinasi. Hanya saja itu sebutan untuk nabi. Kita juga bisa mendapatkan imajinasi, namanya ilham yang diberikan malalikat mulhim, bukan jibril. Lalu imajinasi itu apa? Berdasarkan kesepakatan banyak pemikir, imajinasi adalah suatu gambaran (citra) yang dihasilkan oleh otak seseorang. Tentu pengertian ini belum absolut. Tidak akan pernah ada pesawat terbang tanpa imajinasi manusia melihat fenomena burung. Mereka butuh perenungan, kesendirian, membaca dan menulis dalam kepalanya. Luar biasa, bukan? Tanpa kekuatan imajinasi mungkin sampai sekarang ibadah haji pakai unta!



Ini hanya urusan bahasa. Kemarin monolog Tan Malaka nyaris dibatalkan karena ada orang-orang yang tidak peka terhadap urusan bahasa. Beda mungkin jika monolog tersebut diberi judul Ceramah Sutan Ibrahim. Mungkin orang-orang yang gandrung memakai gamis tersebut berbondong-bondong memasuki pintu pertunjukan. Kata "hijrah" misalnya, akan sangat diantisipasi orang-orang gaul. Padahal kata "hijrah" sama artinya dengan "move on", berpindah, berubah haluan ke arah yang lebih baik.

Jika tidak melihat terminologinya, kata "sinis" saja bisa jadi ajakan ribut bagi sebuah kelompok terhadap kelompok lain. Dan bagi penikmat bacaan kalimat demikian tidak susah didefinisikan. Dengan angle prismatik, kemungkinan maknanya tidak terhingga. Sinis adalah mazhab filsafat Yunani. Tentu pengertian ini pun tidak akan pernah absolut. Dalam sejarahnya, Diogenes dari Sinope, yang tinggal di dalam sebuah tong, suatu ketika sedang berjemur dan dihampiri Alexander Agung. Raja yang makmur itu bertanya tentang apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan untuknya. Tapi Diogenes hanya mengatakan, “Menyingkirlah dari cahayaku!” Atau ketika ia ditanya, “Dari mana?” Diogenes tidak menyebutkan satu nama daerah pun melainkan hanya mengatakan, “Aku warga alam semesta!”

Kesalahpahaman muncul ketika kita tidak mampu memasturbasikan bahasa dengan jalan literasi. Kosa kata “sinis” sebetulnya mengandung kebijaksanaan, kecukupan, kemandirian, dan hidup tanpa nafsu. Aku menemukan kesinisan yang keren di sudut Sunken Court (sebuah tempat berkumpul orang-orang gelisah, berasal dari berbagai lini dan tanpa akta kelahiran menyebut dirinya Aliansi Kebangkitan) yang mereka semua tidak punya nafsu (kecuali mungkin sedikit saja) untuk mencapai kesenangan seperti masyarakat ideal. Nafsunya yang paling kentara hanya dua: berpikir dan beraksi. Dengan kata lain mereka membaca dengan bertukar pikiran maupun menyerap isi buku dan untuk memperpanjang umurnya mereka menulis.

Berikut ini perkataan Crates Cynic yang mewakili kesinisan yang agung:

Ada sebuah kota, Knapsach, di tengah-tengah lautan ilusi
Adil dan makmur, dikelilingi oleh lumpur, tidak memiliki apa-apa
Di dalamnya tak ada parasit bodoh
Pun tak ada si rakus yang senang dalam pantat pelacur
Tetapi kota ini menghasilkan tanaman pengharum makanan, bawang, ara, dan roti
Karena itu mereka tidak saling berkelahi satu sama lain demi barang-barang ini
Pun tak mengangkat senjata demi uang, atau demi kejayaan…
Bebas dari perbudakan dan penyiksaan
Mereka mencintai persahabatan abadi dan kebebasan

Omong kosong memang semua yang aku katakan pada kebanyakan orang tentang sastra. Tidak pernah puas kujabarkan karena akan selalu berakhir panjang, berbelit-belit seperti birokrasi dan sulit dimengerti. Kalau agama adalah candu bagi orang-orang yang mencari jalan lurus dan terang dengan mudahnya, bagiku sastra adalah labirin yang membuat seseorang bahagia dalam kegelapan. Bergerak di bidang literasi akan membuatmu mencintai proses. Agama bisa jadi membuat umat manusia mengklaim dirinya benar dan menilai yang lain perlu dibetulkan alias rusak, sedangkan sastra adalah gempa yang meruntuhkannya lalu menyusunnya kembali.

Tidak perlu dipaksakan untuk semua orang membaca dan menulis. Semua punya jalan hidup masing-masing. Tapi ketahuilah bahwa muka bumi ini terlalu luas untuk dijelajahi, juga partikel-partikel dalam tubuh kita terlalu indah untuk dibiarkan hancur. Penjelajahan yang baik ada kalanya melalui buku sebab kita tidak perlu berlelah-lelah menyiapkan perbekalan, memanjat tebing, menghabiskan ongkos untuk menjadi seorang pengembara alam semesta. Dan kabar gembiranya, sosokmu bisa diam-diam menyusup ke dalam kata-kata, ke dalam gagasan yang kamu tuliskan atas nama kebaikan. Kau akan mencetak sejarahmu sendiri. Kecuali kalau kau bergerak ada orang yang dengan senang hati menuliskan sejarahmu. Itu lain soal. Sedangkan kita tahu semua orang dipaksa untuk mengingat sejarah. Dan jika sudah mencetak sejarah, semua orang juga akan dipaksa untuk mengingatmu, mengingat gagasanmu. Dan kau akan abadi!

Aku sempat pesimis bahwa sastra sampai kapan pun tidak akan maujud di kampus ini. Bahkan aku sempat mencuri dengar dari seorang senior bahwa mahasiswa  yang kelewat cinta dengan sastra malah melarikan diri ke kampus lain atau menjadi penggerak komunitas di luar. Tapi ternyata itu hanya prasangka. Banyak kok warga kampus ITB yang sering membaca diam-diam di pojokan, tersesat dalam bukunya sendiri. Banyak juga yang punya gagasan dahsyat untuk dituangkan. Mereka hanya terlalu takut untuk mengakui bahwa alat yang mereka pakai selama ini hmm, sastra. Kenapa ya, kok takut? Padahal sastra kan bukan teroris. Apakah mungkin takut disangka lebay, alay, gila, gombal, njelimet? Atau terlalu takut mendefinisikan bahwa sebenarnya sastra itu sendiri luas dan tidak terbatas dan pencarian terhadap batas itu akan sangat melelahkan.

Sastra bisa jadi kata yang sangat tabu. Sangat. Apalagi mengatasnamakan itu pada orang yang betul-betul ahli dalam linguistik atau pernah dinobatkan sebagai tokoh sastra oleh negara. Pasti mereka tertawa jika ada orang yang tiba-tiba mengaku sastrawan. Bisa jadi tawa yang sinis. Padanan kata sastra yang paling renyah di telinga ya literasi. Setidaknya itu membuat masyarakat ideal di mata Diogenes penasaran dan mengira-ngira bahasa serapan tersebut dan memaknai sendiri dengan terlebih dulu menyingkirkan rasa takut. Berpestalah. Berbahagialah. Sebutlah kita semaumu: mau dengan kata sastrawan, penulis, pengarang, novelis, cerpenis, jurnalis, esais, pemikir, filsuf, filosof, sufi, penyair, pujangga, puisioner, dan apa pun itu sebutannya yang nyaman di hatimu.

#pestaliterasi2016 http://pestaliterasi.com
Previous PostOlder Posts Home